Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia dan negara-negara Asean harus mewaspadai perlambatan ekonomi China yang akan terjadi dalam beberapa tahun kedepan. Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto memperkirakan hal tersebut akan berpengaruh kebijakan ekspor dan impor China.
Ryan memprediksi nilai ekspor Indonesia ke China akan turun dalam beberapa tahun ke depan, "China adalah partner dagang Indonesia yang paling besar, celakanya mereka tidak lagi akan banyak mengekspor atau mengimpor tetapi justru akan banyak menjual produknya di domestik," ujarnya di Jakarta, Rabu (24/9).
Pemerintah China menurutnya masih menunggu pertumbuhan permintaan pasar di Amerika Serikat dan Eropa yang masih melambat sehingga China akan lebih banyak menjual barang produksinya ke pasar domestik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal ini dipastikan akan membuat China menjadi lebih ketat terhadap produk impor yang masuk," ujar Ryan.
Menurut Ryan, China akan mengeluarkan berbagai kebijakan pengetatan impor untuk sektor pertambangan. Contoh pengetatan impor yang sudah diterapkan adalah untuk komoditas batubara. "Mereka mengeluarkan aturan baru terkait persentase kandungan minimal mineral batubara yang boleh masuk. Ini merupakan cara halus pemerintahnya untuk menolak barang dari luar," ujarnya.
Kebijakan pengetatan aturan impor dari China akan menyebabkan nilai ekspor pertambangan Indonesia turun. Sehingga berpotensi memberikan dampak tidak langsung terhadap kenaikan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) di sektor pertambangan. Untuk itu, dia menghimbau perbankan nasional melakukan langkah-langkah antisipasi, salah satunya dengan cara mengurangi ekspansi di sektor yang berisiko hingga melakukan restrukturisasi.
Bank Indonesia mencatat NPL sektor pertambangan saat ini mencapai 3,09%, naik dari posisi 2,49% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Sebelumnya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) juga telah mengeluhkan anjloknya ekspor crude palm oil (CPO) yang terjadi sepanjang tahun ini. Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif GAPKI mengatakan ekspor CPO ke China sebagai negara pembeli terbesar turun 70 persen menjadi 81 ribu ton pada Agustus 2014 dibandingkan 138 ribu ton pada bulan sebelumnya.
Menurut Fadhil anjloknya permintaan CPO dari China karena pemerintahnya mulai memberlakukan standar residu pestisida yang belum bisa dipenuhi oleh perusahaan sawit Indonesia. "Regulasi baru ini mencakup 387 pestisida termasuk untuk produk minyak makan. Adanya aturan baru ini membuat eksportir minyak sawit harus melakukan penyesuaian demi memenuhi persyaratan sebelum bisa melakukan ekspor lagi ke China," ujar Fadhil.