Jakarta, CNN Indonesia -- Tren pelemahan rupiah terhadap dolar AS semakin mempersulit industri alas kaki nasional untuk memperoleh bahan baku. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) melihat fenomena makro ini mengancam kelangsungan industri sepatu rumahan.
"Sekarang saja banyak
home industri yang gulung tikar karena tidak mampu impor bahan baku," jelas Ketua Aprisindo Eddy Wijanarko kepada CNN Indonesia, Ahad (28/9).
Menurut Eddy, industri sepatu skala kecil dan menengah yang paling merasakan dampak negatif dari depresiasi rupiah. Adapun untuk industri sepatu besar yang berorientasi ekspor relatif tidak terpengaruh karena ada selisih lebih nilai kurs yang mengompensasi biaya impor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi nilai ekspor kita tahun ini kemungkinan sama dengan tahun lalu, sekitar US$ 3,9 miliar," ujarnya.
Eddy menjelaskan permintaan sepatu dari luar negeri sampai saat ini belum mengalami peningkatan seiring dengan perlambatan ekonomi dunia. Eropa dan Amerika Serikat masih menjadi kawasan pengimpor sepatu terbesar dari Indonesia.
Selain karena faktor global, Eddy menilai kondisi politik di Tanah Air juga membuat bisnis sepatu berjalan lambat. Produsen sepatu nasional cenderung bersikap hati-hati dalam menjalankan bisnis sambil mengamati perkembangan politik ke depan.
"Tahun ini adalah tahun yang paling susah dan kami tidak banyak berharap," tegasnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), industri alas kaki nasional membutuhkan bahan baku rata-rata 5 juta lembar kulit per tahun. Sejauh ini, pemasok kulit dalam negeri baru bisa memenuhi 2 juta lembar per tahun, sedangkan sisanya 3 juta lembar harus diimpor.