Jakarta, CNN Indonesia -- Pengetatan penjualan minuman alkohol secara ritel oleh pemerintah berpotensi meningkatkan pendapatan industri pariwisata, khususnya hotel dan restoran. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) meyakini kebijakan tersebut akan mengurangi penjualan minuman beralkohol secara ilegal di tempat-tempat yang tidak sesuai peruntukannya.
"Seperti rokok, minuman beralkohol itu tidak boleh dijual sembarangan. Jadi kalau itu diperketat pasti dampaknya positif bagi kami yang memang mendapat izin untuk menjual," ujar Ketua GIPI Ida Bagus Ngurah Wijaya kepada CNN INdonesia, Kamis (2/10).
Menurutnya, industri pariwisata seperti hotel dan restoran selama ini membutuhkan pasokan minuman tersebut untuk memenuhi permintaan pengunjung dan mendukung kegiatan-kegiatan
meeting, incentives, conferencing, exhibition (MICE). Namun, tumpang tindih aturan tarif antar-instansi pemerintah pusat dan daerah justru memberatkan pengusaha dan konsumen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bayangkan sat ini pajak impor minuman keras itu mencapai 300 persen dari harga pokoknya dan itu belum termasuk bea edar yang dikenakan oleh pemerintah daerah," ujarnya.
Di sisi lain, Ngurah menilai upaya pemerintah pusat dan daerah untuk membatasi penjualan minuman beralkohol di tempat-tempat yang tidak pantas belum optimal. Hal ini yang kemudian meningkatkan penjualan minuman ilegal. "Kami dukung kontrol itu, asalkan caranya baik dan benar," kata Ngurah.
Dia menambahkan selma ini terlalu banyak instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang mengatur distribusi minuman keras di Indonesia. Untuk itu perlu sinkronisasi aturan dan pendelegasian ke satu instansi yang memang berhak menertibkan agar tidak mempersulit perizinan impor dan penjualan.
"Sekarang Bea dan Cukai keluarkan aturan, Menteri Perdagangan keluarkan aturan, lalu BPPOM dan pemerintah daerah juga, itu tidak benar," tegasnya.
Kementerian Perdagangan membuat klasifikasi minuman beralkohol menjadi tiga golongan, yakni golongan A dengan kadar alkohol di bawah 5%, golongan B antara 5-15%, dan golongan C antara 20-25%.
Setiap golongan dikenakan cukai dan bea masuk dengan tarif yang berbeda-beda. Instrumen pajak lain yang melekat pada Minol adalah pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN), serta biaya sertifikasi minuman impor dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Selain itu, ada pemerintah daerah seperti Pemprov Bali yang mewajibkan pelekatan label edar di setiap botol minuman beralkohol, yang biayanya disesuaikan dengan golongannya.