Jakarta, CNN Indonesia -- Fuad Rahmany menanggung beban berat selama menakhodai Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Target penerimaan yang terus naik tanpa disertai peningkatan kapasitas organisasi dinilai mempersulit kinerja DJP. Di penghujung masa jabatannya,
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany buka-bukaan kepada
CNN Indonesia. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana perkembangan sektor pajak dalam 10 tahun terakhir?Saya melihat potensi pajak itu besar sekali. Angkanya lebih besar dibandingkan apa yang sudah kita peroleh sekarang. Tapi kemampuan kita untuk menjamah potensi yang besar itu masih relatif keci karena tidak seimbang dibandingkan potensi yang ada. Mulai dari sisi infrastruktur maupun SDM yang kita miliki, baik secara kualitas maupun kuantitas. Itu semua masih belum memadai. Apalagi sudah 10 tahun terakhir ini, kapasitas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak berubah. Padahal potensi pajak yang kita layani dan harus kita kejar itu sudah lebih dari dua kali lipat peningkatannya. Perekonomian nasional kita dalam sepuluh tahun terakhi ini juga sudah naik dua kali lipat lebih.
Kenapa DJP tidak berkembang?Memang kita ada kelalaian, negara kita, bahwa DJP ini tidak pernah diperbesar. Tidak disesuaikan dengan potensi yang ada. Sayang sekali potensi yang besar itu tidak bisa kita layani, tidak bisa kita kejar, hanya karena kita punya kelalaian dalam mengembangkan organisasi DJP, termasuk aparat dan segala macam. Ada sistem birokrasi pemerintahan kita, mulai dari undang-undang sampai peraturannya, itu membuat DJP tidak bisa membesar untuk waktu yang lama sekali. Segala macam, mulai dari anggarannya, infrastrukturnya, jumlah orang yang direkrut juga tidak memadai, sehingga jumlahnya tidak bertambah. Nah ini yang salah. Antara potensi dan kapasitas tidak seimbang. ini yang harus jadi perhatian ke depan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Artinya harus ditingkatkan kapasitas DJP?Harus ditingkatkan minimal dua kali lipat, karena itu yang menyebabkan
tax ratio kita berada di sekitar 12 persen terus. Tidak bisa meningkat ke 13-14 persen. Apa lagi rencananya pak Jokowi
tax ratio jadi 16 persen. Secara potensi ada 16 persen, tapi secara kapasitas dan kemapuan tidak bisa kita capai, kecuali kita memperbesar kapasitas. Karena DJP itu bukan istilahnya jualan Supermi, coklat Toblerone atau mobil.
Sudah diupayakan penambahan kapasitas?Sudah beberapa kali kita ajukan proposal, tapi selalu ada hambatan karena sistem birokrasi kita yang kaku. Ini yang harus dilakukan perubahan. Banyak peraturan undang-undangan hingga peraturan pelaksana, peraturan pemerintah, itu harus diperbaiki dulu. supaya birokrasi kita bisa lebih fleksibel.
Kendala apa lagi yang dihadapi DJP selama ini?Data jadi masalah. Di Indonesia itu permasalahannya adalah ketersediaan data yang akurat. Data sih ada banyak, tapi tidak akurat dan tidak dalam bentuk elektronik data atau digital, tapi manual. Itu sangat sulit karena akurasinya rendah dan harus direkam ulang. Kita tidak cukup lagi orang untuk merekam itu sehingga ini ada masalah juga.
Ini juga kenapa potensi pajak kita tidak bisa diraup karena kita punya kelemahan data nasional. Bukan hanya DJP. Kalau di negara maju, semua data sudah online. Ini yang arahnya harus kita perbaiki, sistem online harus kita kembangkan. Seperti yang Pak Jokowi katakan, saya setuju. Ini harus kita mulai. Ini bukan sesuatu yang mudah. DJP siap online, tapi WP (wajib pajak) kita, masyarakat yang akan online dengan kita belum siap. Bahkan perusahaan-perusahaan besar belum siap meskipun dia online.
Bagaimana dengan kepatuhan wajib pajak?Kita kan meminta orang untuk bayar pajak dan meskipun kita berikan pelayanan yang baik pun, kita permudah bayar pajak, itu yang benar akan datang dengan sukarela tanpa disuruh, tanpa dipaksa, itu paling-paling cuma 20 persen dari jumlah penduduk yang ada. Dan itu berlaku internasional, seluruh dunia sama. Orang selain dia diberikan kesadaran, tapi dia juga harus diingatkan, dihimbau, ditagih dan kalau perlu dipaksa. Bisa secara keras, bisa juga secara lembut.
Strategi DJP seperti apa?jadi ke depanya, ini sudah mulai, salah satunya seluruh transaksi-transaksi ekonomi yang strategis yang berpotensi ada pajaknya, seperti jual beli mobil, rumah, dan jual beli tanah, itu harusnya online dengan DJP. Sehingga kita tahu siapa saja orang-orang yang punya uang yang beli mobil, rumah dan tanah. Tentunya nanti juga di saham. Kalau dengan bursa itu gampang, kita bisa online.
Bagaimana tanggapan Bapak soal wacana menjadikan DJP sebagai lembaga otonom?Kalau saya pikir masalahnya bukan di situ. Tidak berarti kalau DJP ini menjadi otonomi bisa menyelesaikan masalah. Karena masalah utama bukan di situ. Simple saja masalah kapasitas. Kalau nanti menjadi otonom, terus pisah, tapi jumlah pegawainya tidak ditambah, infrastrukturnya tidak ditambah, anggaran tidak ditambah, ya tetap hasilnya sama saja. Masalahnya kapasitas, bukan independen atau tidak.
Faktor eksternal apa yang secara alamiah membuat penerimaan pajak tak tercapai?Kalau eksternal tentu masalah kepatuhan, masalah penegakan hukum, dan kita tentu harus memperbaiki lagi penegakan hukumnya. Negara kita kan masih berkembang, sama dengan negara lain, selalu ada pihak-pihak yang berkonspirasi karena punya kekuatan yang kemudian bisa dengan mudahnya dia bisa tidak bayar pajak. Kemudian untuk dipaksa juga tidak gampoang. Ini juga salah satu area yang harus diperbaiki.
Apakah oknumnya banyak?Lumayan. Kita punya masalah data yang tidak mudah didapat. Tapi Kepolisian dalam beberapa bulan terakhir intensif menindaklanjuti. Ini perlu dilakukan. untuk menimbulkan efek jera supaya mereka tahu pemerintah serius. Ini masalah keadilan.
Modusnya apa saja?Macam-macam. Ada perusahaan-perusahaan yang bayar pajak, tapi belum jujur sepenuhnya. Atau dia melakukan
tax planning. Sah-sah saja secara hukum, tapi tidak baik ya, seperti
transfer pricing. Memang secara hukum dia bisa lakukan, tapi secara kepatutan dia tidak patut. Dia mendapat income dari Indonesia, tapi mencatatkan keuntungannya di negara lain. Nah ini kan tidak etis, tidak patut. Sebenarnya bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia terjadi.
Kenapa penerimaan tahun ini tidak tercapai? Apakah ada kaitannya dengan insentif pajak?Kita tidak mencapai taget bukan karena itu, lebih karena ketidakmampuan kita mencapai itu.
Tax insnetif juga diperlukan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan industri, dan dalam jangka panjang penerimaan pajak akan naik. Memang secara jangka pendek kita kehilangan pajak, tapi dalam jangka panjang kita akan dapat beberapa kali lipat dari ekonomi yang tumbuh. tax insentif juga keniscayaan, tapi juga tidak bisa terlalu luas.
Apakah ada objek pajak baru yang disisir?kita selalu melakukan ekstensifikasi, kita selalu memperluas basis pajak baru. Tapi ekstensifikasi kita itu tidak maksimal. Dan saya sendiri sangat tidak puas dengan hasil kerja ekstensifikasi DJP karena kita ada keterbatasan infrastruktur dan petugas pajak kurang sehingga sangat minimal hasilnya.
Sebagai Dirjen, itu yang sangat saya sayangkan. Dan saya kecewa dengan kinerja kita. Tapi kita tidak bisa salahkan siapa-siapa karena kapasitas dan biaya operasional kita minim. Bahkan anggaran 2015 lebih rendah dari 2014. Padahal penerimaan kita meningkat terus, tapi biaya operasional kita terus turun.
Apakah ini semacam hukuman karena banyak oknum yang bermain?Tidak ke sana. kalau masalah anggaran itu memang ada keterbatasan. Saya tidak bisa salahkan siapa-siapa karena anggaran Kemenkeu juga terbatas. Unit eselon I kan banyak sehingga kita harus bagi-bagi. Saya tidak komplain, tapi memang faktanya begitu. Kita harus kerja keras, tapi dengan anggaran yang minim.
Target tahun depan bagaimana?Tergantung ekonomi 2015. Saya dengar dari pengamat dan analis dalam dan luar negeri sepertinya kondisi 2015 juga tidak akan lebih baik dari 2014. Minimal sama dengan sekarang.