Jakarta, CNN Indonesia -- Faktor permodalan menjadi kebutuhan yang tak bisa dihindari dalam bisnis perbankan. Dengan ketatnya likuiditas dan kebutuhan kredit yang semakin tinggi, pemilik bank harus siap menggelontorkan dana untuk penguatan modal, termasuk investor asing.
Ekonom Senior Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menyatakan merger dan akuisisi memang diperlukan untuk memperbesar skala bank, namun yang lebih penting adalah suntikan modal. "Indonesia harus siap menghadapi pasar bebas, tapi harus siap juga menerima modal asing," kata Fauzi di Jakarta Sabtu (11/10).
Menurut dia, tak cukup hanya mendorong bank-bank BUMN untuk merger, langkah itu harus dipertegas dengan penguatan modal. Upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ingin membatasi kepemilikan asing di Indonesia hanya 40 persen melalui Undang-Undang Perbankan dianggap tidak relevan. Sebab dengan kebutuhan modal yang besar, perbankan Indonesia masih perlu suntikan modal asing. "Sekarang kalau modal asing dibatasi, siapa yang akan mendanai perbankan nasional. Pemerintah? konglomerat Indonesia? yang notabene lebih tertarik bangun inftastruktur, dan real estate?," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain membutuhkan modal besar, regulasi perbankan juga sangat rigid pasca krisis finansial global 2008, ditambah lagi dengan adanya peraturan internasional Basel III. Manajemen risiko perbankan menjadi lebih ketat dan payback period untuk investor perbankan juga sangat lama. "Investor global sudah biasa diregulasikan sedangkan investor dalam negeri tidak suka banyak regulasi," ujar dia.
Perbankan menarik dana nasabah untuk disalurkan kembali dalam bentuk kredit. Hal itu yang membuat aturan bank sangat ketat, baik di dalam maupun aturan internasional. Menurut Fauzi, jika pemangku kepentingan dan kebijakan perbankan di Indonesia mengabaikan masa depan bank, maka yang dikorbankan adalah 250 juta masyarakat Indonesia yang akan kesulitan akses keuangan.
Arif Budimanta, politikus PDIP yang juga pernah menjadi tim ekonomi pasangan Presiden terpilih Joko Widodo - Jusuf Kalla menganggap belum perlu pembatasan modal asing di perbankan sebesar 40 persen. Menurut dia, yang perlu dibatasi adalah ruang gerak ekspansi asing agar tidak merambah pada bisnis yang digeluti perbankan lokal. "Bank-bank asing harus diarahkan ke sektor kredit yang belum dikuasai bank lokal, jangan berebut masuk ke kredit konsumser semua," ujar dia.
Seperti diketahui, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan yang tidak berhasil lolos di era anggota DPR 2009-2014, pada pasal 35 undang-undang tersebut tertera kepemilikan asing diperbankan maksimum hanya 40 persen. Kendati ingin lebih dari 40 persen, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menjelaskan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) terkait kondisi bank tersebut. FKSSK yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan OJK dapat merekonomendasikan ke OJK terkait tenggat waktu dalam pemenuhan batas kepemilikan saham. Selain itu, OJK dapat mengubah batasan tersebut dengan mempertimbangkan rekam jejak, tata kelola, dan kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia, sesuai persetujuan DPR.
Terkait dengan konsolidasi bank-bank BUMN, menurut Arif proses merger akuisisi sudah harus dipersiapkan dari sekarang dan segera direalisasikan dalam dua tahun ke depan. Sehingga, dalam menuju Masyarakat Ekonomi Asean pada 2020, perbankan Indonesia tidak kalah bersaing dengan bank-bank di regional.