WARISAN EKONOMI SBY

Warisan Masalah Pangan SBY untuk Jokowi

CNN Indonesia
Senin, 20 Okt 2014 08:25 WIB
Selama dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono perekonomian Indonesia tumbuh. Namun, permasalahan swasembada pangan dan kesejahteraan petani belum terselesaikan.
Buruh mengangkut beras di Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada lima tahun terakhir pemerintahan SBY, impor pangan mengalami kenaikan 60,03 persen. (Detik Foto/Jhoni Hutapea)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode mulai 2004 sampai 2014 ternyata belum cukup bagi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk dapat mewujudkan program swasembada pangan. Terus bertambahnya kebutuhan pangan rakyat Indonesia seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi pangan dari sawah dan kebun petani lokal.

Data Kementerian Perdagangan menyebutkan, nilai impor pangan dalam lima tahun terakhir SBY memimpin terus mengalami peningkatan. Pada 2009 lalu jumlah bahan pangan yang diimpor tercatat sebanyak 12,36 juta ton, kemudian sampai akhir 2013 jumlahnya meningkat 60,03 persen menjadi 19,78 juta ton.
Sementara sepanjang Januari-Juni 2014, jumlah pangan yang diimpor sudah mencapai 10,90 juta ton. Tidak hanya beras, tetapi juga gandum dan tepung gandum, gula, kedelai, jagung, susu, buah, sayur, sapi dan daging sapi, garam, kentang, minyak goreng, sampai cabe.

Uang yang seharusnya bisa mensejahterakan petani lokal, justru dinikmati negara lain yang mengekspor bahan pangan tersebut ke Indonesia. Nilainya pun fantastis, bukan lagi jutaan rupiah tetapi miliaran dolar Amerika Serikat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kementerian Perdagangan mencatat, untuk mengimpor bahan pangan tersebut Indonesia harus membayar US$ 9,54 miliar sepanjang 2013. Angka tersebut naik 86,69 persen dibandingkan nilai impor bahan pangan pada 2009 yang tercatat sebesar US$ 5,11 miliar. Sementara sampai pertengahan 2014 nilai impor pangan Indonesia sudah menyentuh angka US$ 4,99 miliar.

Kondisi tersebut dianggap cukup membuktikan SBY hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan topangan sektor industri dan melupakan keunggulan sektor agraria yang dulu pernah diagungkan Indonesia. Insentif pajak justru banyak diberikan kepada pemilik modal lokal dan asing yang berencana membangun pabrik baru di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang luar biasa, permintaan lahan untuk industri dan infrastruktur meningkat tajamMuhammad Tassim Billah
Terus bertambahnya jumlah kawasan industri baru, harus dibayar mahal dengan mengorbankan lahan pertanian yang mengakibatkan produksi pangan nasional turun drastis. Para petani tradisional yang masih mengandalkan hidupnya dari kegiatan bercocok tanam, pada akhirnya harus rela menjual sawah dan kebun kepada perusahaan pengembang kawasan industri dan perumahan akibat harga jual padi, buah, dan sayur yang tidak cukup untuk makan sehari-hari.

Sensus Rumah Tangga dan Perusahaan Pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah rumah tangga di Indonesia yang menjalani profesi sebagai petani turun 5 juta selama SBY memimpin. Jika pada akhir 2003 jumlahnya masih berjumlah 31,23 juta rumah tangga, namun pada akhir 2013 tersisa 26,14 juta rumah tangga atau turun 16,32 persen.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS Adi Lumaksono menjelaskan, penurunan terbesar terjadi pada petani gurem yang rata-rata memiliki areal pertanian kurang dari setengah hektar. "Hasil panen para petani gurem tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya produksi. Akhirnya banyak yang menjual sawah, kemudian beralih kerja menjadi buruh kasar atau menjadi pembantu di Timur Tengah dan Hong Kong,” jelas Adi pada Seminar Nasional Ikatan Perstatistikan Indonesia di Jakarta, September lalu.

Adi menyebutkan rata-rata pendapatan rumah tangga petani sekitar Rp 12,41 juta per tahun atau sekitar Rp 1,03 juta per bulan, lebih rendah dibanding rata-rata upah minimum provinsi terendah di Indonesia sebesar Rp 1,2 juta per bulan. Pendapatan tersebut jelas tidak mencukupi untuk menghidupi anggota keluarga petani dengan layak.

Kepala BPS Suryamin mengatakan penjualan sawah dan kebun petani telah meningkatkan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau kawasan industri rata-rata 1,5 persen per tahun. Pada 2013 luas lahan panen komoditas padi turun 1,92 persen menjadi 265.310 hektar dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara produktivitas seluruh lahan tersebut hanya meningkat sebesar 0,06% menjadi 0,03 kuintal per hektar dibandingkan 2012.

Kementerian Pertanian mendata, total lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia hanya tersisa 8 juta hektar. Sebagian besar justru didominasi lahan perkebunan komoditas yang dimiliki oleh perusahaan besar seperti pengolahan kelapa sawit.

"Pembangunan perumahan jangan lagi menggunakan daerah lahan subur. Gunakan lahan-lahan kering. Pemerintah baru harus membuat peraturan yang melarang lahan subur digunakan sebagai lahan perumahan. Berikan tindakan tegas bagi yang melanggar," kata Suryamin.

Perlindungan terhadap lahan-lahan subur menurutnya harus dilakukan agar Indonesia tidak mengalami krisis lahan yang bisa mengganggu produktivitas pertanian dan membuat lebih banyak lagi impor pangan di masa depan.

"Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur dasar seperti irigasi dan akses jalan sehingga dapat meningkatkan produktivitas pertanian. Masyarakat juga harus dirangsang lagi untuk kembali bertani dengan memberikan kepastian akan harga jual, pasokan bibit dan pupuk, serta dibukakan pasar," Adi Lumaksono menambahkan.

Dampak MP3EI
Jumlah rumah tangga yang menjalani profesi sebagai petani turun 5 juta (16,32 persen) selama SBY memimpin. (Reuters/Beawiharta)


Kementerian Pertanian tidak menampik terjadinya peningkatan alih fungsi lahan tersebut. Muhammad Tassim Billah, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian mengatakan berkurangnya lahan pertanian terjadi dalam kurun lima tahun terakhir terutama sejak dimulainya pembangunan proyek-proyek dalam masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang luar biasa, permintaan lahan untuk industri dan infrastruktur meningkat tajam," kata Tassim.

Bahkan Tassim menilai rencana program Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang akan mencetak 1 juta hektar sawah baru di luar Pulau Jawa akan sulit dilakukan. “Tidak akan mudah, karena 30 persen lahan pertanian yang subur terdapat di Pulau Jawa. Sementara di Pulau Jawa sudah padat pemukiman penduduk,” ujarnya.

Menurut Tassim satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintahan baru untuk menambah lahan pertanian adalah dengan mengonversi lahan hutan. “Mungkin bisa saja dari lahan hutan dengan memerintahkan Dinas Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional. Satu juta hektar itu sangat luas dan bisa dibagikan kepada 1 juta petani baru," kata Tassim.

Solusi Kartu Petani Sampai Resi Gudang

Pemerintahan Joko Widodo diminta lebih gencar lagi menerapkan Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang mengatur penggunaan lahan pertanian. UU tersebut juga mengatur pelarangan penggunaan lahan subur sebagai lahan perumahan atau industri.

Tassim menjelaskan Kementerian Pertanian saat ini tengah mengusulkan rencana penerbitan Kartu Petani yang akan dibagikan ke seluruh Indonesia. Tassim berharap Presiden Joko Widodo dapat mendukung rencana tersebut .

"Dengan kartu ini, pemerintah bisa mengontrol langsung sehingga subsidi yang diberikan tidak salah sasaran,” ujarnya.
 
Masukan bagi pemerintah tidak hanya datang dari Kementerian Pertanian. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhapi) awal Oktober ini juga berkumpul membahas masukan yang bisa dilakukan pemerintahan Joko Widodo untuk memperbaiki kondisi pangan Indonesia yang memprihatinkan.

Erwidodo, Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) menilai kebijakan SBY mengesampingkan sistem resi gudang membuat Indonesia tidak bisa menjaga ketahanan pangan. Resi gudang sebagai bukti kepemilikan barang yang disimpan di gudang kelolaan pemerintah dinilai bermanfaat bagi petani. Sebab, petani tidak perlu menjual langsung hasil panennya jika harga sedang turun. Harga produk pertanian yang terjaga tersebut akan membuat petani nyaman menjalankan pekerjaannya dan tidak beralih ke profesi lain.

“Di Tiongkok dan Vietnam, ketahanan pangannya tercipta karena sistem ini. Hampir seluruh negara di dunia memiliki sistem pergudangan yang dikelola dengan baik untuk produk pertanian. Gudang adalah pendukung utama untuk meningkatkan produksi," kata Erwidodo.

Joko Widodo masih beruntung sebab selain menerima warisan masalah pangan, SBY ternyata masih mewariskan anggaran sebesar Rp 55,58 triliun untuk membenahi persoalan pangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah (APBN) 2015. Alokasi dana subsidi pangan, pupuk, dan benih tersebut meningkat 36,32 persen dibandingkan 2014 yang sebesar Rp 40,77 triliun. Seiring dengan bergantinya pucuk pimpinan pemerintahan, bola panas urusan perut rakyat kini berada di tangan Joko Widodo.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER