WARISAN EKONOMI SBY

Migas di Jalur Menurun

CNN Indonesia
Senin, 20 Okt 2014 09:11 WIB
Terus turunnya produksi minyak nasional ditengah peningkatan konsumsi bahan bakar minyak oleh masyarakat, menyebabkan pemerintah harus melakukan impor minyak.
Truk tangki mendistribusikan BBM ke SPBU milik Pertamina. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam kurun dua tahun terakhir Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan yang cukup memprihatinkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2012 neraca perdagangan defisit sebesar US$ 1,63 miliar. Pada 2013 posisi neraca perdagangan kembali mengalami defisit US$ 4,06 miliar atau meningkat 149 persen dibandingkan besaran defisit tahun sebelumnya.

Lantas, hal apa yang menyebabkan neraca perdagangan defisit setelah 50 tahun terakhir mengalami surplus?

Sejumlah ekonom meyakini defisitnya neraca perdagangan disebabkan oleh tingginya angka impor produk minyak dan gas (migas). Tengok saja, di 2012 pemerintah Indonesia mengimpor produk migas seberat 44,2 juta ton atau senilai US$ 42,5 miliar. Sedangkan pada 2013 besaran impor meningkat 10,8 persen dan menyentuh angka 49 juta ton atau mencapai US$ 45,2 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantaran sampai Juli 2014 jumlah impor migas sudah mencapai 27,7 juta ton atau berkisar US$ 25,9 miliar, neraca perdagangan Indonesia pun diperkirakan akan kembali defisit dengan rentang US$ 4 miliar sampai US$ 4,5 miliar.

Tren meningkatnya angka impor produk migas ini tak lepas dari tingginya penjualan kendaraan bermotor di Indonesia, khususnya jenis mobil. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan mobil pada 2012 mencapai 1,16 juta unit, di mana jumlah penjualan kembali meningkat 60 ribu unit menjadi 1,22 juta unit pada 2013.

Walhasil, pemerintah tak berdaya dalam menekan besaran impor migas dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) oleh masyarakat Indonesia. Sebagai efek domino, realisasi pagu subsidi BBM terus melejit dari Rp 137,4 triliun pada 2012 menjadi Rp 210 triliun di 2013.

Pada 2014 pemerintah mematok pagu subsidi BBM mencapai Rp 246,5 triliun dengan jumlah kuota sebesar 46 juta kiloliter (KL). Hingga kuartal III lalu, PT Pertamina (Persero) mencatat realisasi penyaluran BBM bersubsidi sudah mencapai 34,9 juta kL atau meningkat 1,7 persen ketimbang realisasi penyaluran BBM di periode yang sama tahun lalu.

Dengan begitu, Pertamina memperkirakan realisasi BBM tahun ini akan kembali jebol dari pagu APBNP 2014, dari angka 46 juta KL menjadi 47,6 juta KL.

"Kalau tak ada pembatasan, BBM bakal over kuota mencapai 1,61 juta KL,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir.

Berdasarkan catatan Pertamina, realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga kuartal III 2014 untuk premium sudah sebanyak 22,24 juta KL atau naik tipis 1,9 persen dibandingkan kuartal III 2013. Sedangkan penyaluran solar pada periode tersebut juga sudah mencapai 11,94 juta KL atau tumbuh 3,9 persen ketimbang periode yang sama di 2013.

Padahal sebelumnya Pertamina sudah mengupayakan upaya pembatasan di beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan pengepul solar yang dimulai sejak Agustus 2014 lalu.

“Kalau cuma pembatasan seperti itu tidak efektif, melainkan harus ada aturan bersifat nasional, mulai dari kenaikan harga BBM hingga pembatasan. Tapi lagi-lagi pemerintah tak serius, proyek RFID bagaimana itu?” ujar Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reform Minner Institute kepada CNN Indonesia baru-baru ini.

Produksi vs Konsumsi
Selain peningkatan konsumsi, tingginya angka impor migas juga disebabkan oleh penurunan produksi minyak (lifting) nasional. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat, angka lifting minyak pada 2012 berada di kisaran 826 ribu barel per hari (bph).

Sementara tahun lalu, produksi minyak nasional menurun 1.000 bph menjadi 825 ribu bph. Pun pada akhir Juli 2014 posisinya terus menurun dan hanya mencapai 788 ribu bph.

Kepala SKK Migas Johannes Widjanarko mengatakan, menurunnya angka produksi minyak Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga faktor.

Pertama, penurunan alami (decline rate) produksi sebesar 15-20 persen akibat uzurnya sumur produksi atau reservoir (mature whale). Kedua, minimnya kegiatan eksplorasi yang pada dasarnya merupakan usaha dalam meningkatkan cadangan dan proyeksi produksi ke depan. Dan ketiga, banyaknya persoalan di sektor hulu seperti perizinan, pungutan pajak, hingga pencurian yang menyebabkan para perusahaan migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) enggan melakukan eksplorasi hingga produksi.

“Jadi jangan heran kalau produksi minyak kita terus turun. Tentu saja, target lifting tahun depan di angka 900 ribu bph sulit tercapai jika tak ada pengembangan (eksplorasi),” ujar Widjanarko.

Dengan hanya memproduksi 788 ribu bph, itu artinya pemerintah harus mengimpor minyak berkisar 800 ribu bph lantaran kebutuhan BBM nasional saat ini mencapai 1,5 juta bph.

Namun dari angka 788 ribu bph tersebut pemerintah masih harus memberi ‘jatah bagi hasil’ (split) migas sebesar 15 persen sampai 20 persen ke KKKS sebagai realisasi atas Production Sharing Contract (PSC). Jadi, jumlah minyak yang didapatkan pemerintah dan bisa diolah di dalam negeri hanya berkisar 630.400 bph sampai 669.800 bph.

“Karena banyak yang rusak, saat ini kapasitas kilang Pertamina yang bisa dipakai hanya 649 ribu bph dari 1 juta bph. Pilihannya sekarang, mau terus impor atau buat kilang minyak sambil meningkatkan produksi,” ujar Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang sebelumnya menjadi Pelaksana Tugas Badan Kebijakan Fiskal.

Strategi pamungkas?
Demi mengurangi ketergantungan impor minyak, pemerintah menerapkan sejumlah strategi yang akan diimplementasikan pada sektor hulu dan hilir.

Di sektor hulu, pemerintah sudah menginstruksikan SKK Migas untuk mempercepat pengerjaan sumur-sumur minyak yang diyakini dapat menahan laju penurunan (decline rate) atau bahkan menambah angka produksi. Satu yang terlihat adalah digebernya proyek lapangan Banyu Urip, Bojonegoro yang saat ini dikelola MCL Cepu Ltd.

Awalnya, lapangan Banyu Urip akan menemui puncak produksinya sebesar 165 ribu bph pada kuartal II 2016. Namun, karena konsumsi minyak nasional terus meningkat, mau tak mau SKK Migas mendesak MCL Cepu mempercepat kegiatan produksi. Puncak produksi Banyu Urip ditargetkan bisa dipercepat ke kuartal III 2015.

“Saat ini masih 40 ribu bph. Saya optimis kuartal I 2015 bisa naik ke 65 ribu bph hingga 165 ribu bph pada kuartal III,” kata Widjanarko.

Selain Banyu Urip, SKK Migas juga mendesak Petronas Cagliari Ltd untuk mempercepat penyelesaian proyek lapangan Bukit Tua dari 2016 menjadi kuartal III 2015. Dari lapangan tersebut, SKK Migas menargetkan bisa mendapat tambahan produksi minyak mencapai 20 ribu bph.

Di samping itu, regulator bisnis hulu migas juga berharap Pertamina EP dapat mempercepat proyek kerjasamanya dengan Daqing Ltd terkait proyek pemulihan sumur lanjutan atau dikenal Enhanced Oil Recovery (EOR) di Lapangan Limau.

Saat ini, produksi lapangan Limau sudah mencapai 9 ribu bph atau meningkat 5 ribu bph dari produksi awal di 4 ribu bph. Pertamina EP pun tengah berupaya kembali mengaktifkan lapangan Beringin melalui teknik EOR.

“Awal September produksi Beringin sudah mencapai 1.005 bph dan gas sebesar 26,4 mmscfd,” ujar Manager Humas Pertamina EP Agustinus menerangkan.

Di samping hulu, pemerintah Indonesia juga sedang melakukan pembenahan skema di sektor hilir. Rencananya, pemerintah akan membangun 2 unit kilang minyak berkapasitas total 600 ribu bph sampai 900 ribu bph dengan skema kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau public private partnership (PPP).

Dalam klausul kerjasama, Kementerian ESDM bersedia menyediakan 2 lahan total 900 hektar yang akan dipakai untuk membangun kilang. Pemerintah juga bakal memberi insentif berupa perpanjangan periodesasi pembebasan pajak alias tax holiday mencapai 10 tahun, serta memotong besaran pajak penghasilan perusahaan atau tax allowance yang masih dibahas di jajaran Kementerian Keuangan.

“Ada 2 lahan yang siap yaitu di Arun, Aceh dan Bontang, Kalimantan Timur. Untuk payung hukumnya (kerjasama) sendiri akan keluar Oktober awal,” tutur Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Chairul Tanjung yang juga merupakan Menteri ESDM ad interim.

Namun, dua upaya yang dijalankan pemerintah rasanya masih jauh dari harapan. Di sektor hulu, produksi minyak per Senin (13/10) diketahui hanya mencapai 798 ribu bph atau kurang 72 ribu bph dari target lifting 2014 yang berada di 870 ribu bph. Sementara proyek kilang masih belum menemukan titik temu menyoal besaran pajak penghasilan perusahaan.

"Kalau tax holiday sudah ada aturannya di Kementerian Keuangan, tinggal yang allowance. Mudah-mudahan saja cepat ada," kata Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo.

Akankah problematika migas di Indonesia dapat teratasi?
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER