Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam beberapa dekade terakhir, lonjakan harga komoditas membuat Indonesia terlena. Ekspor bahan mentah menjadi pilihan mudah bagi para eksportir untuk meraup laba. Pada masa itu ekonomi nasional berjaya karena pelaku ekspor dimanja kenaikan harga.
Di sisi lain, subsidi BBM meninabobokan rakyat dari segala strata. Pengguna jalan raya ceria karena mendapat jatah signifikan uang negara. Setiap tahun rata-rata 18 persen dari APBN habis dibakar mereka. Dalih pemerintah untuk menjaga konsumsi rakyat bawah tidak terbukti karena yang banyak menikmati justru pemilik mobil mewah.
Memasuki 2012, pasar komoditas berbalik arah. Perlambatan ekonomi global menekan harga ke titik terendah. Ekspor pada akhirnya menyerah, tak mampu mengimbangi impor BBM yang semakin bergairah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia pun tersadar setelah ditampar defisit kembar. Defisit APBN semakin besar, defisit neraca perdagangan terus melebar.
Pada 2014, defisit APBN diperkirakan mencapai Rp 241,49 triliun (2,4 persen PDB) atau meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan realisasi 2010 yang sebesar Rp 48,84 triliun (0,7 persen PDB). Sementara neraca perdagangan mulai mengalami defisit pada 2012 sebesar US$ 1,6 miliar dan menjadi US$ 4,07 miliar pada 2013.
 Surplus APBN dan Neraca Perdagangan selama empat tahun terakhir. |
Fauzi Ikhsan, Kepala Ekonom Standard Chatered Bank, mengatakan rata-rata impor BBM Indonesia per tahun sekitar 20 persen dari total impor barang dan jasa. Importasi dilakukan mengingat perusahaan migas nasional belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi BBM yang semakin tinggi di dalam negeri.
“Jadi, yang harus dilakukan adalah harga BBM harus naik untuk menyelamatkan kedua neraca,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (11/10).
Secara umum, Fauzi mengatakan sekitar 60 persen ekspor Indonesia berupa komoditas. Alhasil anjloknya harga komoditas di pasar global membuat kinerja ekspor tak lagi gagah. Hal ini juga berdampak pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah.
“Ekspor Indonesia terpukul bukan saja karena harga komoditas, tetapi juga karena pelarangan ekspor mineral mentah,” katanya.
Dia memperkirakan pelarangan ekspor mineral mentah menyebabkan nilai ekspor Indonesia susut sekitar US$ 6 miliar dan penerimaan negara dari sektor migas anjlok sekitar US$ 1 miliar dalam setahun. Sementara kewajiban membangun pabrik pengolahan (smelter) tak mampu dilakukan pengusaha lokal sehingga memicu penyelundupan.
“Kebijakan ini harus dievaluasi karena justru mendukung investor global untuk masuk menguasai, karena hanya mereka yang mampu bangun smelter,” kata Fauzi menjelaskan.
Fauzi Ikhsan menambahkan untuk memperbaiki fundamen ekonomi harus didukung pula oleh kebijakan likuiditas ketat oleh Bank Indonesia. Kenaikan suku bunga acuan atau BI
rate dalam kondisi seperti sekarang diperlukan guna mengurangi konsumsi masyarakat. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter tersebut diharapkan bisa mengurangi impor meskipun konsekuensinya roda ekonomi melambat.
“BI, menurut hemat saya, untuk 12 bulan ke depan punya amunisi untuk menaikan BI
rate hingga 100 basis poin,” ujarnya.
Riant Nugroho, Pengamat Kebijakan Publik Institute for Business Reform (IBR), mengibaratkan negara sebagai rumah tangga yang dapurnya tak lagi mengepul karena inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa membuat pemerintah harus merogoh kocek lebih dalam untuk menutup kebutuhan belanja negara yang membengkak.
“Dan itu (defisit) harus dibayar dari utang. Gali lubang tutup lubang,” ujarnya.
Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, melihat ada pengaruh eksternal dan internal yang menyebabkan defisit ini membengkak. Dari eksternal, pemicunya adalah krisis global yang memukul sejumlah negara mitra dagang Indonesia.
“Dari sisi internal kebijakan ekonomi domestik yang diberlakukan salah, membuat ekspor semakin tertekan dan impor tidak bisa dibendung,” katanya.
Cara mengatasinya, Erani menyarankan, adalah dengan memperkuat ekonomi domestik dan mengevaluasi kebijakan internasional. Artinya, perlindungan dilakukan untuk membendung serangan barang impor. Di sisi lain, pemerintah harus memberikan insentif kepada pelaku industri di dalam negeri guna mendorong ekspor.