RUPIAH MENGUAT

Kabinet Jokowi Diminta Ubah Paradigma Ekonomi

CNN Indonesia
Senin, 20 Okt 2014 13:10 WIB
Nilai tukar rupiah diperkirakan masih bisa menguat namun belum jangka panjang karena masih terimbas euforia presiden baru.
Purbaya Yudhi Sadewa (CNN Indonesia/Herman Setiyadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penguatan nilai tukar rupiah diperkirakan hanya sesaat, terimbas sentimen politik pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama pemerintahan baru tidak mengubah paradigma ekonominya, maka nilai tukar dan kondisi ekonomi Indonesia masih rentan terhadap kondisi global.

Pada perdagangan hari ini, Senin (20/10) bersamaan dengan dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK, nilai tukar rupiah menguat ke posisi Rp 12.041 per dolar Amerika Serikat. Sedangkan pada penutupan akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah melemah ke posisi Rp 12.222 per dolar AS.

Kepala ekonom Danareksa Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan sentimen ini hanya sesaat sehingga dampaknya pada penguatan nilai tukar juga sesaat. "Selama belum dibenahi perekonomiannya, penguatan nilai tukar rupiah tidak akan berlangsung lama," kata Purbaya saat berkunjung ke redaksi CNN Indonesia, senin (20/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada kesempatan itu, dia menyebutkan sejumlah tantangan yang harus dihadapi Jokowi di sektor ekonomi. Pertama, kata Purbaya, pemerintah dan Bank Indonesia harus merubah paradigma yang salah dalam mengurus ekonomi dua tahun terakhir. Kedua, membalik ekonomi yang melambat menjadi percepatan ekonomi.

Ketiga, kata Purbaya, pemerintah perlu meningkatkan belanja dan mendorong pembangunan infrastruktur, bukan menyimpan dana-dana yang tak terpakai di Bank Indonesia. Keempat, perlunya mempercepat perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, target pertumbuhan ekonomi 5,8 persen dalam APBN 2015 dianggap tidak relevan karena diperkirakan hanya sekitar 5,2-5,3 persen tahun depan.

Purbaya menegaskan, tak ada istilah auto pilot dalam menjalankan perekonomian Indonesia. Menurut dia, pada krisis 2008-2009, Indonesia jauh lebih sukses dalam mengatasi krisis bahkan dihargai di dunia internasional. Sebaliknya, saat ini Indonesia seakan gagal dalam menerapkan kebijakan ekonomi yang mendorong percepatan pertumbuhan. "BI rate tinggi, nilai tukar sengaja diperlemah, pertumbuhan ekonomi sengaja diperlambat, belanja pemerintah di rem, ini kan kebijakan yang salah," kata dia.

Sementara, jika pemerintahan baru tidak mengubah cara pandangnya, diperkirakan Indonesia akan mengalami krisis yang lebih dalam saat kondisi global mulai membaik tahun depan. "Bisa jadi pertumbuhan ekonomi bisa ke bawah 5 persen kalau ini tidak segera dibenahi," ujar dia.

Terkait arah kebijakan bank sentral dalam menetapkan BI rate, menurut Purbaya, belum diperlukan kenaikan suku bunga lagi ke depan. Sebab, jika suku bunga semakin tinggi maka daya beli masyarakat bisa melemah. Kenaikan BI rate bisa dipertimbangkan jika Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga acuannya.
"Tapi tidak saat ini kalau mau naikkan BI rate lagi, sekarang sudah terlalu ketat," katanya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER