Jakarta, CNN Indonesia -- Industri manufaktur Indonesia tetap mengalami akselerasi di tengah perlambatan ekonomi global dan nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan produksi IBS tumbuh 4,96 persen pada kuartal III 2014 dibandingkan dengan pencapaian periode yang sama tahun lalu.
Secara tahunan, Kepala BPS Suryamin menjelaskan membaiknya kinerja manufaktur terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi sejumlah sektor, yakni industri peralatan listrik tumbuh 13,21 persen, industri mesin dan perlengkapan naik 9,49 persen, serta industri berbasis kayu dan anyaman meningkat 8,7 persen.
"Sedangkan industri jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan turun 8,22 persen, industri alat angkutan lainnya turun 5,08 persen, serta industri komputer, barang elektronik dan optik minus 4,03 persen," jelasnya dalam jumpa pers BPS, Senin (3/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merujuk pada realisasi triwulan sebelumnya, produksi IBS pada kuartal III 2014 tumbuh 2,45 persen. Sub sektor manufaktur yang mengalami pertumbuhan produksi paling signifikan adalah industri tekstil sebesar 7,67 persen. Keudian diikuti oleh industri jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan 6,04 persen, dan industri makanan 4,45 persen.
"Pertumbuhan tertinggi terjadi di Provinsi Kepulauan Riau 12,87 persen dan Provinsi Nusa Tenggara Barat 10,56 persen, sedangkan yang mengalami penurunan adalah Provinsi Papua minus 5,94 persen," ujar Suryamin.
Meskipun manufaktur tumbuh tahun ini, Kementerian Perindustrian memperkirakan hanya 30 persen pelaku industri nasional yang siap bersaing menuju Masyarakat Ekonomi Asean pada 2015. Beberapa sektor yang dianggap sudah siap antara lain industri tekstil dan industri makanan dan minuman.
"Sedangkan 70 persen industri belum siap menghadapi MEA, salah satunya industri petrokimia," ujar Setio Hartono, Sekretaris Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, belum lama ini.
Untuk itu, Setio mengatakan Indonesia harus memperkuat industri hulu agar aktivitas impor berkurang setiap tahunnya. Pemerintah mendorong industri untuk mengolah bahan baku di dalam negeri, sehingga ketergantungan impor bahan baku dapat berkurang signifikan. Dengan begitu daya saing industri Indonesia di MEA akan meningkat.
"Saat ini 76 persen bahan baku dan penyanggah industri masih impor, sedangkan 16 persen untuk impor mesin dan peralatan, dan 6 persen lagi barang-barang konsumsi," jelasnya.
Solusi lainnya, menurut Setio, pemerintah baru harus memperkuat struktur industri dalam negeri agar tidak menghambat perkembangan industri ke depan. Menurutnya, langkah pemerintah memperpanjang fasilitas penangguhan pajak untuk jangka waktu tertentu (tax holiday) dinilai sudah tepat.