Jakarta, CNN Indonesia -- Penjualan tekstil dan produk tekstil dalam negeri belakangan ini telah mengalami penurunan. Hasil produksi tekstil yang seharusnya diserap konsumen, justru banyak menumpuk di gudang tempat penyimpanan milik produsen. Keadaan ini diprediksi akan lebih buruk setelah pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada bulan ini.
"Pasar sekarang kondisinya buruk, gudang sudah pada penuh ditambah akan ada kenaikan harga BBM," ujar Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) kepada CNN Indonesia, Selasa (4/11).
Ade menilai lesunya pasar domestik tersebut disebabkan inflasi akibat naiknya harga kebutuhan dasar masyarakat seperti makanan, tarif dasar listrik, dan transportasi. Hal tersebut terbukti telah mengurangi uang masyarakat yang biasanya dibelanjakan untuk membeli produk tekstil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengingat potensi penjualan tekstil dalam negeri akan semakin memburuh paska harga BBM bersubsidi naik, para pengusaha tekstil anggota asosiasi tengah berupaya mengoptimalkan penjualan ekspor sehingga bisa tumbuh 5 persen tahun depan. "Lebih baik kita ekspor sebanyak-banyaknya, maksimalkan permintaan dari luar negeri," kata Ade.
Namun untuk dapat meningkatkan ekspor bukanlah perkara mudah. Ade menyebutkan ada sejumlah hambatan perdagangan yang dibuat oleh negara-negara tujuan ekspor utama maupun negara tujuan ekspor potensial yang menyulitkan pelaku usaha.
Untuk dapat mengurangi hambatan ekspor, menurut Ade dibutuhkan peran serta pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. "Permintaan produk tekstil dari Amerika Serikat dan Eropa sangat besar dan belum semuanya bisa dioptimalkan karena ada regulasi perdagangan yang menghambat. Pemerintah harus bisa menyelesaikan ini," ujarnya. Ade menyebutkan beberapa produk tekstil yang diminati masyarakat Amerika Serikat antara lain tas dan dompet kulit, sweater, aksesoris, kain tenun, hingga batik.
Permintaan produk tekstil dari Amerika Serikat dan Eropa sangat besar dan belum semuanya dioptimalkan karena hambatan regulasi perdagangan.Ade Sudrajat |
Ade yakin, perluasan penetrasi pasar tekstil Indonesia ke Amerika Serikat dan Eropa mampu menyerap tenaga kerja dan menarik perhatian investor sebab banyak keuntungan yang akan diraih dan hal ini mampu menyehatkan kembali perekonomian Indonesia.
Kementerian Perdagangan mencatat, nilai ekspor pakaian jadi bukan rajutan Indonesia bergerak naik-turun sejak 2009 lalu. Pada 2009 nilai ekspornya tercatat sebesar US$ 3,13 miliar, kemudian angkanya naik menjadi US$ 3,61 miliar pada 2010, dan naik lagi menjadi US$ 4,14 miliar di 2011. Pada 2012, nilai ekspor pakaian jadi justru turun menjadi US$ 3,74 miliar kemudian naik tipis menjadi US$ 3,9 miliar sampai akhir 2013.
Dukung BBM NaikMeskipun berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap penjualan tekstil dan produk tekstil dalam negeri, menurut Ade asosiasi sangat mendukung rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebab menurutnya selama ini subsidi BBM hanya berorientasi kepada sektor yang konsumtif bukan produktif.
"Sakit sekalian sakit, artinya struktur perekonomian di set up lagi dari awal. Karena seharusnya subsidi diarahkan ke sektor yang produktif, jangan hanya sekedar dibakar di jalan," ujarnya.
Ade yakin efek dari kenaikan harga BBM terhadap penjualan tekstil dan produk tekstil hanya akan berlangsung 3 hingga 6 bulan setelah kebijakan tersebut dilakukan. Permintaan masyarakat akan membaik kembali setelah alokasi subsidi BBM dialirkan ke arah yang tepat dan produktif. "Memang manfaat alokasinya tidak bisa dirasakan langsung, tapi lebih baik daripada terus-terusan diberikan ke hal yang merugikan," ujarnya.