Jakarta, CNN Indonesia -- Industri berbasis karet menghadapi tantangan berat untuk bisa bertahan dan menembus pasar ekspor di tengah perlambatan ekonomi global. Inovasi dan diversifikasi produk karet untuk mendukung program kerja pemerintah di bidang maritim diharapkan bisa menjadi solusi jangka menengah.
Kementerian Perdagangan mencatat ekspor karet dan barang dari karet rata-rata tumbuh 15 persen selama kurun waktu 2009-2013. Namun, jika diteliti lebih jauh, kecenderungannya menurun sejak 2012 seiring dengan penurunan harga komoditas dunia. Ekspor karet dan barang dari karet anjlok 9,74 persen pada 2013 dibandingkan dengan 2012.
"Harga karet tidak akan bisa naik kalau situasi ekonomi global belum pasti, Eropa belum stabil," ujar Ketua Dewan Karet Indonesia Azis Pane kepada CNN INdonesia, Selasa (4/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena tersebut, kata Azis, membuat pasar eskpor sulit diandalkan dalam beberapa terakhir. Untuk itu, diperlukan upaya kreatif dan solutif untuk mengoptimalkan potensi pasar dalam negeri, terutama yang terkait dengan arah pembangunan sektor maritim oleh pemerintah.
"Kami sadar bahwa masa depan industri karet tidak akan berubah kalau tidak kita mengubah sendiri. Untuk itu kami akan mengembangkan produk turunan karet untuk mendukung proyek-proyek maritim, seperti membuat
dock fender (bantalan) pelabuhan, aspal karet, dan vulkanisir ban pesawat," jelasnya.
Aziz yang juga Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia, mengatakan diversifikasi produk karet penting dilakukan guna membuka pasar baru di dalam dan di luar negeri. Sektor usaha ini tidak bisa lagi hanya mengandalkan jenis produk karet yang sudah ada saat ini yaitu ban otomotif, untuk bisa tumbuh dan berkembang.
"Tahun lalu saja kapasitas terpasang industri ban kira-kira 64 juta ban, tapi yang dipakai hanya 51 juta unit. Tahun ini dan tahun depan kemungkinan akan lebih rendah dari itu," katanya.
Azis memastikan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pasti berpengaruh negatif terhadap produksi dan permintaan karet dan produk karet untuk sesaat. Namun, dampaknya diperkirakan tidak terlalu signifikan karena mayoritas pembeli produk karet adalah kalangan ekonomi menengah ke atas. "Khususnya untuk ban, selama ini BBM itu menyumbang 2-4 persen biaya produksi. Jadi tinggal dikalikan berapa kenaikannya," tutur Azis.
Azis meminta pemerintah untuk serius menyikapi permasalahan di industri karet. Sebab, Indonesia akan menghadapi kompetisi yang cukup berat di masa mendatang, terutama yang berasal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara. "Yang kami khawatirkan saat ini adalah Laos, Myanmar, Kamboja dan Vietnam sedang menyiapkan lahan 5 juta hektar untuk mengembangkan basis produksi karet dengan dana dari Tiongkok," ujarnya.