Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengaku tidak mau ambil pusing dengan rencana Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang akan menggelar pertemuan di Wina, Austria, Kamis (27/11). Padahal agenda utama pertemuan tersebut adalah untuk membahas upaya negara-negara anggota OPEC untuk kembali menaikkan harga minyak mentah dunia yang belakangan mengalami penurunan.
Bambang menilai organisasi negara-negara pengekspor minyak itu memang menginginkan harga minyak dunia tetap tinggi dan menguntungkan negara anggotanya. "Saya rasa mereka akan lakukan tindakan dengan menurunkan produksi, supaya harga naik. Mereka (OPEC) punya kepentingan supaya harganya naik," ujar Bambang di Jakarta, Selasa (25/11).
Bambang mengakui apabila harga dunia kembali naik, maka akan berdampak pada tingginya biaya impor minyak mentah yang dibeli PT Pertamina (Persero). Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan harga produksi premium dan solar sebagai bahan bakar minyak (BBM) yang selama ini menerima subsidi pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal tersebut, Bambang memperkirakan kebijakan yang akan diputuskan OPEC tidak akan serta merta membuat harga minyak mentah melonjak. Sebab menurutnya pertemuan Wina tersebut bukan satu-satunya yang menentukan jumlah produksi minyak dunia.
"OPEC bukan satu-satunya organisasi yang menentukan produksi dunia. Ada yang di luar OPEC, kita tunggu dulu bagaimana keadaannya. Saya yakin kenaikan harganya tidak terlalu tinggi,” ujar Bambang.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Venezuela Rafael Ramirez mengatakan saat ini Pemerintah Venezuela tengah menyiapkan proposal untuk meminta persetujuan OPEC sehingga dapat mengurangi produksi minyak untuk dapat meningkatkan harga yang cenderung turun.
“Harga minyak yang adil dalam hitungan kami adalah US$ 100 per barel. Kami akan meminta OPEC menyetujui pengurangan produksi,” ujar Ramirez pekan lalu.
Ramirez yang merupakan menteri senior di Venezuela dan pernah menjabat sebagai Menteri Perminyakan selama 12 tahun tersebut mengatakan dengan harga minyak mentah yang kurang dari US$ 80 per barel, turun lebih dari 25 persen sejak Juni semakin membuat negara-negara produsen minyak terjepit.
“Produsen tidak tertarik harga rendah, karena tidak akan ada yang akan melakukan investasi untuk meningkatkan kapasitas produksi. Cepat atau lambat kita akan kembali melihat harga minyak di atas US$ 100 per barel lagi,” ujar Ramirez.
Untuk mendukung usulan pemotongan produksi itu, Ramirez telah melakukan kunjungan kerja ke negara-negara anggota OPEC dan negara-negara non-OPEC seperti Aljazair, Iran, Meksiko, Qatar, Rusia, dan Arab Saudi.
Barclays memperkirakan setiap penurunan harga US$ 1 berdampak pada berkurangnya pendapatan Venezuela sebesar US$ 720 juta.