EKONOMI MAKRO

Bank Dunia: Indonesia Hadapi Tantangan Kemiskinan Ekstrim

CNN Indonesia
Senin, 08 Des 2014 15:56 WIB
Bank Dunia memperkirakan angka kemiskinan di Indonesia akan bertahan di atas 8 persen hingga 2018.
Anak-anak sekitar pemukiman kumuh mengikuti kegiatan "Rumah Belajar Umbrela", di Kampung Bandan, Jakarta, Sabtu 11 Oktober 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia memperkirakan Indonesia masih akan menghadapi masalah kemiskinan ekstrim dalam beberapa tahun ke depan. Perlambatan ekonomi disinyalir menjadi penyebab angka kemiskinan bertahan di atas 8 persen hingga 2018.

Ndiame Diop, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia, mengatakan laju pertumbuhan ekonomi yang melambat selama periode proyeksi diperkirakan membuat penurunan tingkat kemiskinan terhambat. Selain itu, perubahan metodologi dalam pengukuran kemiskinan diyakini juga akan menyulitkan perkiraan yang tepat dan akurat terkait jumlah orang miskin di Negeri ini.

“Kemiskinan diproyeksi akan tetap berada di atas 8 persen pada 2018 dengan skenario dasar (baseline), kecuali terdapat aksi bersama untuk mendukung pemerataan pertumbuhan dan memperkuatnya serta memperluas jaring pengaman sosial,” jelasnya di Jakarta, Senin (8/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sudut pandang jangka menengah, Ndiame menilai Indonesia akan menghadapi tantangan berat untuk menangani masalah kemiskinan ekstrim yang selama ini sulit dipecahkan. Sebagai informasi, tingkat kemiskinan nasional per Maret 2014 masih berada di level 11,3 persen.

“Sementara program kompensasi pemerintah diharap segera terwujud dan diperkirakan akan melindungi kaum miskin secara efektif dari dampak negatif meningkatnya harga bahan pangan dan transportasi setelah penaikan harga BBM bersubsidi,” ujarnya.

Bank Dunia memprediksi, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5,1 persen pada tahun ini dan bergerak sedikit ke 5,2 persen pada 2015. Angka tersebut lebih rendah dari proyeksi Bank Dunia sebelumnya yang sebesar 5,2 persen pada 2014 dan 5,6 persen pada 2015.

Menurut Diop, untuk memperbaiki fundamental ekonomi Indonesia, pemerintah juag harus fokus pada tiga hal. Yakni peningkatan penerimaan negara, perbaikan belanja, dan fasilitasi dunia usaha. “Pada sektor fiskal, pertumbuhan penerimaan tetap relatif lemah. Sementara belanja modal terkontraksi,” katanya.

Meskipun setiap tahun penerimaan negara meningkat, Dia menilai pertumbuhannya tidak sebanding dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). “Di sisi lain terdapat peningkatan penerimaan negara, tetapi peka terhadap kurs tukar valuta karena depresiasi rupiah,” bebernya.

Sementara dari sisi pengeluaran, lanjutnya, kualitas belanja pemerintah pusat yang rendah menjadi tantangan lain di bidang fiskal. Terutama untuk belanja modal yang melambat signifikan, dengan tingkat realisasi hanya mencapai 38 persen dari APBN-P hingga Oktober 2014. Karenanya, investasi perlu didorong guna mengompensasi pelemahan indikator ekonomi lainnya. 

Sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membuat kajian terkait dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter, yang berpotensi meningkatkan inflasi garis kemiskinan 3,9 persen. Untuk meredam bertambahnya jumlah penduduk miskin, dibutuhkan dana bantalan atau kompensasi sosial sebesar Rp 115.846 per bulan per rumah tangga per bulan selama enam sampai delapan bulan ke depan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER