Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia menilai Indonesia merupakan negara dengan penerimaan negara yang paling rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia dan G20. Sampai saat ini Indonesia hanya mampu mengumpulkan kurang dari 50 persen potensi penerimaan negara.
Hal itu tercermin dari rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) yang baru sekitar 15 persen. Demikian halnya dengan rasio penerimaan perpajakan (tax ratio) yang hanya 11,3 persen dari PDB, jauh di bawah pencapaian Brazil, China, India, Malaysia, Mexico, Filipina, Thailand atau bahkan Vietnam.
"Tanpa ada skenario reformasi besar-besaran, penerimaan Indonesia akan anjlok dari 15 persen pada 2014 menjadi 13,7 persen pada 2019. Demikian halnya dengan pendapatan pajak bisa turun dari 11,3 persen menjadi 11,1 persen, sedangkan pendapatan non-pajak (PNBP) susut dari 3,7 persen menjadi 2,6 persen," jelas Ndiame Diop, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia dalam Laporan Kuartal Ekonomi Indonesia yang dirilis Senin (8/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, untuk penerimaan non-migas berpotensi meningkat dari 4,4 persen PDB pada tahun ini menjadi 4,7 persen PDB pada 2019. Demikian juga dengan pajak konsumsi diproyeksi meningkat dari 5,2 persen menjadi PDB 5,4 persen PDB.
"Tapi ini tidak cukup untuk mengimbangi penurunan proyeksi pajak dan PNBP minyak dan gas (migas). Anjloknya pendapatan migas karena penurunan produksi bruto migas," jelasnya.
Berdasarkan kajian Dana Moneter Internasional (IMF), Diop mengatakan Indonesia seharusnya bisa meningkatkan penerimaan dengan memperluas basis perpajakan dan meningkatkan kepatuhan pajak menjadi sekitar 16,4 persen dalam jangka menengah. :Bahkan, tax ratio INdonesia masih bisa ditingkatkan lebih tinggi, hingga 21,5 persen dari PDB dalam jangka panjang," ujar Diop.
Menurut Diop, selama periode 2002-2008 pendapatan fiskal sangat bergantung pada harga komoditas ekspor yang kala itu terus melambung. Seiring dengan pembalikan tren harga komoditas, penerimaan negara anjlok dari 19,8 persen PDB pada 2008 menjadi 15,1 persen pada 2009.
Bank Dunia mencatat kontributor utama penerimaan Indonesia selama ini adalah pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang mewah (PPnBM), dan cukai, yang menyumbang 34 persen dari total pendapatan negara pada 2013. Sedangkan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan PPh badan usaha menyumbang 29 persen.
Sementara dari sektor minyak dan gas (migas) menyumbang 20 persen, yang komposisinya 30 persen berupa setoran pajak dan 70 persen dikumpulkan sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ndiame Diop menambahkan seiring dengan penurunan harga komoditas, terutama harga migas, terjadi pergeseran dalam struktur penerimaan fiskal Indonesia. Apabila pada periode 2002-2007, penerimaan migas Indonesia bisa berkisar 4,5 peren PDB, pada 2013 lalu turun menjadi 3,6 persen PDB.
"Penurunan ini mencerminkan kombinasi dari penurunan struktural jangka panjang dalam produksi minyak dan gas bumi serta melemahnya harga komoditas sejak 2011," katanya.
Karenanya, Bank Dunia menyarankan Pemerintah Indonesia untuk melakukan pembaharuan kebijakan dan upaya intensif melalui perbaikan kebijakan perpajakan dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.