Jakarta, CNN Indonesia -- Potensi penghematan anggaran pemerintah dari hasil menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mengecil seiring dengan penurunan harga emas hitam di pasar internasional. Ruang fiskal yang awalnya diperkirakan mencapai Rp 200 triliun, realisasinya kemungkinan besar tak lebih dari Rp 120 triliun.
"Kalau harga minyak tidak turun mungkin penghematan bisa mencapai Rp 200 triliun, dan ruang fiskal akan lebih lebar. Kalau hitungan Kementerian Keuangan sekarang kenaikan harga BBM (hanya) mampu menghemat Rp 120 triliun," tutur Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said di Jakarta, Jumat (12/12).
Seperti diketahui, pemerintah menggunakan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 105 per barel dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014, terutama dalam menetapkan alokasi belanja subsidi BBM. Namun, menjelang kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter pada pertengahan November 2014, ICP turun mengikuti tren harga komoditas dunia. Alhasil, ruang fiskal yang dibentuk dari
penghematan subsidi BBM menjadi lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi awal pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, Sudirman mengatakan dana penghematan tersebut akan digunakan untuk mendorong sektor-sektor produktif dan strategis, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur energi, dan perikanan.
"Kita harus ingat kalau kenaikan BBM itu bukan untuk mengurangi subsidi masyarakat, melainkan demi menggenjot sektor-sektor sarana irigrasi, pembangunan jalan raya hingga sektor kelautan dan perikanan," tuturnya.
Menteri ESDM pada kesempatan itu juga menyinggung soal lambatnya pembangunan infrastruktur gas nasional. Dia menilai perlu dilakukan percepatan pelaksanaan proyek gas tersebut guna mendukung kelanjutan program konversi BBM ke gas.
"Gas akan menjadi tema besar. Program konversi BBM ke gas akan dilanjutkan dengan menyediakan infrastruktur dan pasar," ujarnya.
Kementerian ESDM mencatat ICP dibuka pada Januari 2014 sebesar US$ 105,8 per barel dan terus merangkak naik hingga menyentuh harga tertinggi US$ 108,95 per barel pada Juni 2014. Namun, memasuki Juli 2014 kecenderungannya mulai turun ke level US$ 104,63 per barel dan terus anjlok hingga berada pada posisi US$ 75,39 per barel pada November 2014. Realisasi ICP selama periode Januari-November 2014 rata-rata sebesar US$ 99,87 per barel, jauh di bawah asumsi US$ 105 per barel.