INDUSTRI PENERBANGAN

Kemenhub Larang Jual Tiket Murah Bukan Karena Kejadian QZ8501

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Kamis, 08 Jan 2015 16:04 WIB
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 91 tahun 2014 tentang tarif batas bawah diteken Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, 30 Desember 2014.
(REUTERS/Edgar Su)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perhubungan menampik isu pemberlakuan aturan tarif batas bawah bagi maskapai dengan jadwal penerbangan domestik akibat kecelakaan AirAsia QZ8501 yang terjadi 28 Desember 2014 lalu.

Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Muhammad Alwi mengatakan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 91 tahun 2014 yang memuat aturan tarif batas bawah dibuat jauh-jauh hari sebelum tragedi AirAsia terjadi. Alwi menjelaskan aturan tersebut merupakan revisi peraturan sebelumnya PM 51 Tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Dia menjelaskan pembahasan revisi tersebut sudah dilakukan 25 hari sebelum resmi ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada 30 Desember 2014. Atau dua hari setelah pesawat AirAsia QZ8501 dinyatakan hilang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Perubahan keputusan menteri dari Nomor 51 menjadi Nomor 91 itu tidak ada hubungannya dengan accident AirAsia," ujar Alwi di Jakarta, Kamis (8/1).

Alwi menjelaskan, peraturan badan usaha angkutan udara dalam menetapkan tarif normal serendah-rendahnya 40 persen dari tarif batas dibuat setelah Kementerian melakukan perhitungan terhadap komponen biaya yang harus dikeluarkan maskapai setiap kali terbang.

Menurutnya Kementerian Perhubungan khawatir maskapai dengan biaya murah (low cost carrier/LCC) tidak akan memiliki ruang finansial yang cukup untuk menaikkan standar keamanan.

Jika harga tiket dijual lebih rendah dari tarif batas bawah, maka hal tersebut dinilai berpotensi menekan biaya-biaya yang mempengaruhi faktor keselamatan penerbangan. Apalagi komponen biaya di maskapai mayoritas memakai valuta asing, terutama dolar Amerika Serikat (AS).

“Posisi dolar AS terus menguat, sehingga beban biaya maskapai ikut membengkak. Kemudian ada penyusutan pesawat, training, gaji crew, tunjangan awak kabin, ground handling, bahan bakar minyak (BBM), catering. Untuk komponen BBM saja bisa habis 32 persen. Lalu training awak kabin, maintenance bisa sampai 40 persen dari total biaya," jelasnya.

Atas dasar itulah, Kementerian Perhubungan tidak ingin keselamatan penumpang menjadi korban strategi bisnis maskapai. "Pemerintah tidak mau membebani kepada masyarakat. Penerbangan harus menyesuaikan harga sesuai biaya komponen," kata Alwi. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER