Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada 2015 berada dalam rentang Rp 12.200-Rp 12.800. Agus menjelaskan tekanan terhadap rupiah masih dipengaruhi oleh perekonomian global terutama data ekonomi AS yang terus mengalami perbaikan.
"Depresiasi rupiah didorong oleh kuatnya dolar AS terhadap seluruh mata uang negara lain," ujar Agus saat rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Senin (19/1).
Meski
range yang ditetapkan BI terlalu lebar, dia menyebutkan BI melihat masih ada potensi gejolak nilai tukar di tahun ini. "Batas Rp 12.200 oleh pemerintah itu angka yang baik. Angka itu untuk memberikan satu indikasi bahwa perkembangan eksternal masih perlu diwaspadai. Dan kita masih belum bisa mengantisipasi dengan lengkap bagaimana perbaikan ekonomi di AS dan potensi kenaikan FED
Fund Rate," ujar Agus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Menteri Keuangan itu menilai saat ini Indonesia juga mewaspadai kemunduran ekonomi negara Eropa dan Jepang. Hal tersebut menjadi kesempatan bagi mata uang rupiah terapresiasi terhadap mata uang kedua negara tersebut, namun di sisi lain mata uang dolar AS tetap akan mendominasi.
Selain Eropa dan Jepang, Indonesia saat ini juga harus mewaspadai pelambatan ekonomi negara yang menjadi partner dagang terbesar Indonesia, yakni Tiongkok. "Penurunan ekonomi Tiongkok, bisa dikisaran 7,2 persen. Harga-harga komoditi yang menjadi andalan negara-negara berkembang termasuk Indonesia menjadi lemah," kata Agus.
Sebelumnya Price Waterhouse Cooper (PwC), perusahaan audit asal Amerika Serikat juga telah
mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk mewaspadai perlambatan ekonomi Tiongkok yang akan terus berlanjut tahun ini.
Ekonom senior PwC Richard Boxshall mengatakan ekonomi Tiongkok diperkirakan akan mencapai titik terendah perlambatan sejak 1990. “Tiongkok memang masih akan memberi kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Namun kami perkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi mereka sebesar 7,2 persen tahun ini akan menjadi yang paling lambat sejak 1990,” ujar Boxshall.
Perlambatan ekonomi Tiongkok sepanjang 2014 lalu terbukti memberikan pengaruh pada tidak tercapainya target penerimaan negara yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebesar Rp 161,63 triliun atau 93,04 persen dari target APBNP Rp 173,73 triliun.
Susiwijoyo Mugiharso, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabenan DJBC menjelaskan dari tiga pos penerimaan yang diamanatkan ke DJBC, hanya setoran cukai yang mencapai target, yakni sebesar Rp 118, 1 triliun atau 100,5 persen dari target Rp 117,45 triliun.
Sementara untuk realisasi bea masuk dan bea keluar, masing-masing hanya terealisasi 90,27 persen atau Rp 32,2 triliun dari target Rp 35,6 triliun dan 54,98 persen atau Rp 11,3 triliun dari target Rp 20,6 triliun.
(gen)