Jakarta, CNN Indonesia -- Para pegawai PT Merpati Nusantara Airlines yang tergabung dalam Forum Pegawai Merpati (FPM) mengaku iri dengan perhatian khusus yang diberikan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) atas musibah yang dialami oleh pesawat QZ8501 milik PT Indonesia AirAsia. Padahal dengan kondisi 13 bulan bekerja di satu badan usaha milik negara (BUMN) tanpa digaji sama saja artinya dengan pemerintah membiarkan keluarga mereka menerima musibah yang sama dengan para keluarga korban AirAsia.
Hal tersebut diungkapkan Rafdi Samid, salah satu mantan pegawai Merpati dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (21/1). Menurut Rafdi, sejak Desember 2013 sampai Desember 2014 total gaji karyawan Merpati yang belum dibayarkan manajemen mencapai Rp 341,8 miliar. Karena tidak juga memperoleh kepastian dari pemerintah, Rafdi mengaku dengan berat hati harus meninggalkan maskapai tempatnya bekerja selama kurang lebih delapan tahun terakhir tersebut.
“Ada kesan di karyawan, pemerintah telah memilih untuk mematikan Merpati secara perlahan-lahan. Padahal di dalam sendiri kalaupun dibubarkan tidak apa-apa, asalkan total hak pegawai termasuk gaji dan pesangon sebesar Rp 1,45 triliun dibayarkan,” kata Rafdi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara pribadi Rafdi menilai pemerintah telah pilih kasih dengan melakukan hal tersebut. Bahkan, PT Citilink Indonesia, anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk yang melayani penerbangan murah bisa lebih leluasa mengembangkan bisnisnya meskipun tidak berstatus BUMN langsung.
“Apakah Citilink sudah berstatus BUMN aviasi dan apakah Menteri BUMN punya kepentingan dengan Citilink. Merpati bukanlah kompetitor Citilink karena Merpati fokus melayani penerbangan di Indonesia Timur," ujarnya.
Samudera Sukardi, Vice Chairman dari CSE Aviation sekaligus ahli pengembangan bisnis penerbangan, berharap pemerintah menghidupkan kembali Merpati dan mengembalikannya ke fungsi awal sebagai maskapai pengumpan antar kota kecil ke kota besar demi pembangunan perekonomian daerah.
"Pemerintah sebaiknya menghidupkan kembali Merpati melalui kerjasama dengan pemerintah daerah," jelasnya.
FPM memperkirakan biaya untuk menghidupkan kembali Merpati adalah sekitar Rp 400 miliar hingga Rp 500 miliar. Sebagai informasi, total utang Merpati per 31 Januari 2014 adalah Rp 7,64 triliun dan apabila Merpati dinyatakan tutup di tahun 2015 total utangnya mencapai Rp 9,22 triliun. Sementara itu, dalam RAPBNP 2015 pemerintah telah memastikan tidak mengusulkan lagi Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk Merpati.
Sebelumnya
Sekretaris Jenderal FPM Ery Wardhana mengatakan separuh dari total 2 ribu karyawan Merpati telah mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Sementara itu, tak satupun dari 178 pilot di Merpati yang memutuskan bertahan dengan memilih bekerja untuk maskapai lain.
(gen)