Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa hari yang lalu,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro untuk menghitung ulang target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini yang sudah diusulkan dalam RAPBNP 2015 sebesar 5,8 persen. Jokowi tidak ingin pemerintah memasang target pertumbuhan yang terlalu muluk, namun ingin yang realistis.
Wajar jika pemerintah bersikap hati-hati. Sebab dari simulasi dampak gejolak ekonomi terhadap pendapatan dan
belanja
negara 2015 yang dibuat pemerintah, setiap pertumbuhan ekonomi meleset 0,1 persen dari target 5,8 persen maka neraca pemerintah berpotensi defisit hingga Rp 1 triliun dan sebaliknya.
Simulasi tersebut tertuang dalam Nota Keuangan dan RAPBNP 2015 yang diajukan pemerintah ke parlemen baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokumen tertulis tersebut merinci jika pertumbuhan ekonomi 0,1 persen lebih tinggi dari target 5,8 persen, maka penerimaan perpajakan berpotensi meningkat Rp 1,1 triliun hingga Rp 1,3 triliun dari target yang ditetapkan. Di sisi lain, alokasi belanja negara akan membengkak sekitar Rp 100 miliar hingga Rp 400 miliar dari bujet yang disediakan.
Dengan demikian, ada potensi surplus anggaran sekitar Rp 900 miliar hingga Rp 1 triliun jika pertumbuhan ekonomi terdeviasi 0,1 persen lebih tinggi dari target yang telah ditetapkan. Sebaliknya, defisit APBN berpotensi melebar sebesar estimasi tersebut jika deviasinya negatif.
Sebagai informasi, asumsi pertumbuhan ekonomi di APBN 2015 maupun di RAPBNP 2015 dipatok 5,8 persen. Dengan asumsi tersebut pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp 1.768,9 triliun dan belanja negara direncanakan Rp 1.994 triliun. Sementara, defisit anggaran diusulkan sebesar Rp 225,9 triliun atau 1,9 persen terhadap PDB.
(gen)