Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan mempertimbangkan pengenaan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 sebesar 5 persen bagi pengembangan properti dengan harga di atas Rp 2 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi. Kebijakan tersebut mendapat penolakan dari Persatuan Pengusahaan Real Estate Indonesia (REI) karena dianggap kontraproduktif dengan penyediaan rumah bagi masyarakat.
"Dulu hanya rumah dengan harga minimal Rp 10 miliar yang dikenakan PPh 22 ini. Namun kini rumah minimal seharga Rp 2 miliar juga akan dikenakan pajak jenis ini, sehingga nanti konsumen mungkin akan dirugikan" ujar Ketua Kehormatan Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (REI) Teguh Satria di Jakarta, Selasa (27/1).
Teguh mengatakan kebijakan ini perlu dikaji ulang mengingat rata-rata hunian di kawasan perkotaan memiliki harga di kisaran Rp 2 miliar sehingga tidak tepat dikategorikan sebagai barang mewah. Selain itu, ada faktor inflasi yang tercermin dari kenaikan harga rumah sehingga dari sisi nilai sebenarnya tidak setinggi yang diperkirakan.
"Kalau dulu memang Rp 2 miliar dianggap rumah mahal. Tapi mengingat inflasi, kini harga rumah Rp 2 miliar beda dengan harga rumah Rp 2 miliar di jaman dulu," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait wacana tersebut, Teguh mengatakan REI segera menemui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan untuk membahas revisi PPh atas barang mewah, yang memasukan rumah dan tanah di dalamnya. "Kami dipanggil hari ini (Selasa 27/1), nanti sore mungkin kami sudah punya hasil pembicaraan dengan BKF," ujarnya.
Menurut Teguh, kebijakan PPh tersebut tak hanya menjadi disinsentif bagi para pengembang properti, tetapi juga akan merugikan konsumen. Hal ini akan menimbulkan dampak berganda bagi perekonomian secara lebih luas, terutama dalam hal penyerapan lapangan kerja.
"Kalau sampai masyarakat berat memiliki rumah dampaknya sangat besar bagi pembangunan masyarakat kita. Selain itu, sektor properti juga menggerakkan lapangan kerja yang besar," tuturnya.
(ags/gen)