Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha di sektor garmen mendukung kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait larangan impor pakaian bekas. Impor pakaian bekas dinilai dapat melindungi kedaulatan ekonomi, melindungi keamanan negara, serta melindungi kesehatan masyarakat.
“Kami para pelaku usaha di bidang garmen yang sebagian besar melingkupi skala usaha kecil dan menengah sangat mengapresiasi dan mendukung kebijakan tersebut,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pemasok Garmen dan Asesoris Indonesia Poppy Dharsono, di Jakarta, Senin (16/2).
Pelaku industri menilai, praktik impor ilegal, di antaranya impor pakaian bekas, mengurangi daya saing industri garmen nasional. Impor pakaian bekas dinilai merugikan industri kecil dan menengah tekstil dan produk tekstil domestik karena harus berbagi pasar dengan impor pakaian bekas. Padahal industri ini memiliki 273 ribu unit usaha, menyerap jutaan tenaga kerja, dan nilai produksinya mencapai Rp 5 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain merugikan industri, impor pakaian bekas juga mengganggu omzet pedagang retail.
“Kami penjual, kami jual yang diproduksi oleh si pemasok industri hulu, sedikit banyak orang yang biasa memakai di barang kami pasti tergerus oleh (adanya pakaian impor bekas),” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta pada kesempatan yang sama.
Berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia, peredaran produk tekstil di luar kebutuhan industri, di pasar domestik pada tahun 2014 terdiri dari 62 persen dari pasokan produsen lokal, 31 persen dari impor resmi, dan 7 persen diduga berasal dari impor ilegal. Nilai barang impor produk tekstil ilegal mencapai US$ 5,62 miliar atau sekitar Rp 71,6 triliun, dari US$ 19,29 miliar peredaran produk tekstil domestik atau sekitar Rp 255 triliun.
Ada Peranan Oknum AparatLangkah-langkah yang ditempuh oleh Menteri Perdagangan Rahmat Gobel dalam implementasi pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa setiap importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru, dinilai sudah tepat.
Tapi asosiasi juga tidak memungkiri adanya oknum aparat pemerintah yang diduga ikut andil dalam proses masuknya barang impor bekas. Oleh karena itu, asosiasi meminta pemerintah untuk berkoordinasi dengan badan bea cukai di pelabuhan, aparat penegak hukum, pelaku pasar, serta masyarakat.
Asosiasi berharap langkah pemberantasan impor pakaian barang bekas diikuti dengan koordinasi dari hulu ke hilir, termasuk penegakan hukum. Pemeriksaan atas pakaian impor bekas diharapkan sampai ke pengecer atau retailer, jangan sampai berhenti di kantor bea cukai.
“Masalahnya keluar daripada cukai (barang) itu sudah dianggap legal. Bagaimana jalan ceritanya barang ilegal itu dianggap legal,” ujar Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Suryadi Sasmita yang turut hadir dalam acara tersebut.
(ded/ded)