Jakarta, CNN Indonesia -- Lepas bujang, Saleh, 32 tahun, bersama istri memutuskan untuk mencari dan membeli hunian sendiri. Lebih tepatnya membeli dengan cara mencicil karena untuk membayar tunai sulit bagi karyawan swasta dengan gaji pas-pasan seperti dia. Perantauan asal Flores ini termakan stigma: "Setelah menikah, belum bisa dibilang mandiri kalau belum punya rumah sendiri".
Beruntung, pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat mengeluarkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dengan memanfaatkan fasilitas tersebut, kini Saleh telah memiliki satu unit rumah tipe 36 di Darmawangsa Residence, Tambun Utara, Bekasi Timur, Jawa Barat.
"Kenapa FLPP, karena jujur penghasilan saya ketika itu masih dalam hitungan pemerintah. Kalau tak salah penghasilan pokok tak sampai Rp 3 juta per bulan," katanya kepada CNN Indonesia, Rabu (4/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saleh berkisah, proses pengajuan kredit kepemilikan rumah (KPR) dengan skema FLPP terhitung mudah dan tidak berbelit-belit. Cukup dengan mengisi form aplikasi dan membayar booking fee Rp 500 ribu, kata Saleh, mimpinya mempunyai rumah terwujud.
"Apalagi pengembangnya memperbolehkan DP (uang muka) bisa dicicil hingga empat kali," tuturnya.
Rumah yang dipilih Saleh memang tidak megah, hanya memiliki luas tanah 60 meter. Cukup bagi pasangan muda yang belum diberikan momongan. Harganya sekitar Rp 110 juta. Dengan FLPP, Saleh mendapatkan keringanan suku bunga KPR dari BTN hanya 7,5 persen fixed per tahun. Saleh mengangsur Rp 700 ribu per bulan selama 15 tahun.
Cerita serupa datang dari Kalimantan. Musa, 33 tahun, yang tengah menanti rumah mungilnya selesai dibangun di Perumahan Batung Manunggal, Kabupaten Banjar, Martapura, Kalimantan Selatan.
"Awalnya karena ada teman menawarkan rumah tanpa DP dan biaya akad Langsung pada November 2014, saya mengajukan kredit ke BTN syariah," kata Musa bercerita.
Perantauan asal Banten, Jawa Barat, ini memilih menetap di Banjar karena berjodoh dengan perempuan lokal dan telah diberkahi tiga anak. Dia sudah sejak lama mendambakan punya rumah sendiri setelah sekian lama tinggal di puri sewaan.
Seperti halnya Saleh, Musa kala itu juga masuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), tidak sampai Rp 4 juta per bulan. Karenanya, dia bisa memanfaatkan FLPP dari BTN Syariah untuk bisa memiliki rumah mungil tipe 36 berukuran 12 x 9 meter persegi seharga Rp 100 juta.
"Saya hanya bayar uang pendaftaran Rp 500 ribu dan cicilannya Rp 700-800 ribu per bulan selama 20 tahun," tuturnya.
Bedanya, Musa masih menunggu akad kredit yang rencananya baru akan ditandatangani setelah fisik bangunan selesai 100 persen. "Saat ini sudah 90 persen," katanya.
Pemerintah melibatkan 24 bank pelaksana dan 15 bank pembangunan daerah (BPD) sebagai penyalur FLPP. Skema pengajuan FLPP relatif sama di semua bank pelaksana.
"Cukup isi form aplikasi dari BTN syariah yang ada logo Kemenpera, khusus untuk KPR subsidi bagi pegawai berpendapatan di bawah Rp 4 juta," kata Musa.
Setelah isi formulir, Musa diminta melengkapi berkas persyaratan yang diperlukan. Selain berkas standar seperti foto copy KTP dan Kartu Keluarga, serta surat keterangan kerja, debitur FLPP diwajibkan pula melampirkan surat keterangan belum punya rumah dari kelurahan setempat.
"Setelah berkas lengkap saya tunggu sebulan baru diinterview oleh pihak bank dan disurvei ke tempat kerjaan. Baru sebulan kemudian, Januari 2015, saya diinfokan persetujuan kredit dikabulkan," tuturnya.
Penetapan lokasi dan penjadwalan pembangunan rumah kemudian dilakukan dengan pengembang dan baru bisa ditempati setelah akad kredit dan fisik bangunan selesai. "Janjinya tiga bulan selesai," katanya.
(ded/ded)