Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menilai banyaknya transaksi jual beli hunian mewah atau apartemen yang mengakibatkan peralihan kepemilikan telah mempersulit pemerintah dalam mengutip pajak hunian tersebut. Padahal potensi pajak dari transaksi itu terbilang besar, namun tidak pernah masuk ke kantong negara.
"Pajaknya tidak pernah masuk. Banyak pajak yang harusnya dikumpulkan, jadi tidak terkumpul karena tidak ada informasi atau datanya," ujar Bambang di kantornya, Senin (9/3).
Sebelumnya pemerintah berencana mengubah pengenaan pajak pada hunian seperti rumah dan apartemen yang tergolong mewah dan sangat mewah (Pajak Penghasilan/PPh Pasal 22) pada besaran harga atau nilai rumah, bukan berdasarkan luas bangunan yang selama ini berlaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mau
review berapa nilai yang mewah atau tidaknya, karena kalau berdasarkan spekulasi agak susah menentukan yang mewah berapa. Pastinya di atas Rp 1 miliar, jadi formulanya nanti berdasarkan nilai bukan luasan," jelas Bambang.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, dirinya masih menunggu arahan Menteri Keuangan terkait skema dasar perubahan pajak tersebut.
"Nanti kita lihat nilainya berapa, karena apartemen di daerah Kuningan seluas 60 meter persegi saja sudah mahal bisa seharga Rp 2 miliar," sambungnya.
Tak DilaporkanSuahasil menjelaskan, selama ini potensi penerimaan pajak hilang karena adanya transaksi jual beli apartemen atau hunian mewah yang tak terekam. Sebab transaksi tersebut biasanya hanya menggunakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang bukan merupakan objek pajak.
"Itu lepas semua dari pajak. Tapi harusnya kan ada compliance, sehingga transaksi jual beli semestinya bayar pajak. Jadi wajar kalau PPJB harus dikenakan pajak. Selama ada transfer kepemilikan harus jadi objek pajak," ujar Suahasil.
(gen)