Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi Achmad Safiun mengatakan bahwa beban operasional industri berbahan baku gas dipastikan meningkat seiring dengan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Akibatnya, tak menutup kemungkinan jika total produksi industri berbahan baku gas bumi akan menurun seiring tingginya beban bahan baku yang diemban perusahaan.
“Dengan rupiah menyentuh angka Rp 13 ribu per dolar, hal tersebut meningkatkan biaya bahan baku industri sebesar 44 persen dibanding rata-rata kurs yang berlaku tahun lalu. Akibat peningkatan beban bahan baku ini, tak heran akan ada banyak perusahaan yang menurunkan jumlah produksinya," ujar Achmad kepada CNN Indonesia di Jakarta, Selasa (10/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Achmad, anggotanya lebih memilih memangkas produksi dibandingkan menaikkan harga produk. Terlebih beban produksi sudah cukup berat akibat meningkatnya tarif dasar listrik sebesar 38,9 persen dan upah minimum provinsi sebesar 12,7 persen dibanding tahun lalu. Sehingga, pemotongan jumlah produksi dipandang sebagai upaya paling baik dibanding harus meningkatkan harga jual.
"Industri logam, petrokimia, dan keramik bisa menurunkan jumlah output-nya rata-rata sebesar 30 hingga 50 persen mengingat komponen bahan baku gas bumi bagi industri ini memiliki proporsi dengan rentang 40 hingga 80 persen dari total struktur biaya produksi," tambah Achmad.
Pangkas PekerjaAchmad juga mendapat laporan bahwa industri logam sudah mulai melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah tenaga kerjanya meskipun dia tak mengetahui angka pastinya. Dia sangat menyayangkan hal tersebut dan meminta pemerintah untuk dapat menurunkan harga gas bumi agar dampak dari depresiasi tak seberat sekarang.
"Situasinya di Indonesia ini berbeda, di lingkungan global harga energi turun namun kenapa di Indonesia tidak turun? Selain itu kenapa harga Liquefied Natural Gas (LNG) di Korea Selatan dan Jepang lebih murah dibanding kita? Kan gas mereka juga berasal dari LNG Tangguh," jelasnya.
Achmad mendesak pemerintah untuk menanggapi depresiasi rupiah dengan sangat serius mengingat pelemahan rupiah tidak hanya berdampak pada industri berbahan baku gas bumi, namun juga industri lainnya.
"Kalau kita lihat data impor industri manufaktur pada Januari 2014 sebesar US$ 14,91 miliar, 75,77 persen-nya merupakan bahan penolong industri dalam negeri. Sedangkan data impor pada Januari 2015 sebesar US$ 12,59 miliar, 76,28 persen-nya juga bahan pendukung industri dalam negeri kita. Jadi memang depresiasi mata uang ini juga berpengaruh ke seluruh industri," tutur Achmad.
(gen)