Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai kesengajaan melemahkan mata uang merupakan strategi keliru yang harus dihindari oleh Indonesia di tengah perlambatan ekspor dan penurunan harga komoditas. Bank Indonesia dan pemerintah diharapkan bisa melakukan kombinasi kebijakan stabilisasi kurs, antara lain dengan memperketat kebijakan devisa hasil ekspor dan memperlancar investasi langsung.
"Kalau Indonesia sengaja memperlemah rupiah, itu sama saja bunuh diri," ujar Direktur Indef, Enny Sri Hartati, kepada CNN Indonesia, Selasa (10/3).
Menurutnya, saat ini tidak banyak yang sengaja memperlemah mata uangnya, kecuali Yuan. Tiongkok sempat melakukan kebijakan itu setelah memastikan ekonominya memiliki daya saing yang cukup untuk menembus pasar ekspor.
"Indonesia bagaimana mau disengaja (melemahkan rupiah) kalau gejala deindustrialisasi justru terjadi. Bagaimana mau meraup keuntungan dari ekspor, kalau harga-harga komoditas trennya sedang turun. Jadi kalau mau seperti Tiongkok, persiapakan dulu produk andalannya apa, berdasarkan hasil market intelejen," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Enny mengatakan depresiasi nilai tukar terjadi hampir di semua negara menyusul membaiknya ekonomi AS. Namun, rupiah dinilai yang melemah paling dalam dibandingkan dengan mata uang negara berkembang lain, seperti Malaysia dan India.
"Beberapa mata uang yang yang melemah rata-rata yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekspor. Tapi yang harus diingat pelemahan yang lain tidak sedrastis Indonesia," tuturnya.
Sebenarnya, kata Enny, cadangan devisa Indonesia mencukupi untuk BI melakukan intervensi. Namun, potensinya seharusnya bisa lebih besar jika devisa hasil ekspor tidak parkir di negara lain.
"Mestinya ada persyaratan bahwa korporasi yang melakukan ekspor tanpa melampirkan dokumen penempatan devisa hasil ekspor tidak bisa diproses. Jadi dipaksa masuk dana mereka. Ini akan membantu penguatan rupiah," tuturnya.
Sementara dari sisi aliran modal, kata Enny, dolar yang masuk ke Tanah Air masih tergolong tinggi belakangan ini. Namun, karena biasanya kebutuhan dolar meningkat pada paruh kedua untuk repatriasi modal dan membayar utang, maka memunculkan spekulasi orang untuk menahan valas.
"Ini yang menimbulkan tekanan terhadap rupiah. Jadi kalau capital inflow tidak memadai untuk memasok valas ke pasar uang, maka pemerintah harus turun tangan dengan meyakinkan komitmen FDI terealisasi," tuturnya.
Sejak dibuka di level Rp 12.385 per dolar AS pada 1 Januari 2015, Reuters mencatat rupiah telah mengalami koreksi 28 persen. Pada perdagangan Senin (9/3), rupiah ditutup di level Rp 13.055 per dolar AS.
(ags/gen)