Jakarta, CNN Indonesia -- Ramuan bisnis dan komunitas ternyata ampuh di tangan Tsummadana Wulan, mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, ini. Bisnis kerudung dan baju muslimnya malah makin moncer di saat nilai tukar rupiah menjerit.
Bahkan penjualannya pun sampai merambah negara tetangga dan ke Hong Kong serta Arab Saudi.
Wulan mengawali bisnisnya pada 2011 setelah sebelumnya berdagang baju muslim kecil-kecilan hasil produksi orang lain. Namun lantaran supliernya tak bisa memenuhi permintaan yang tinggi, Wulan memilih untuk memproduksi sendiri dan berjualan secara
online.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jilbab adalah produk utama tokonya yang diberi nama Miulan Hijab. Dibanderol antara Rp 50 ribu sampai Rp 200 ribu per jilbab dengan aneka model itu, Wulan bisa memproduksi 12.000-an helai per bulan.
“Permintaannya sangat tinggi, jadi selalu habis stok,” kata perempuan manis ini kepada CNN Indonesia, di Jakarta, Jumat (13/3). Rahasianya terletak pada pilihan warna-warna pastel yang segar dan model-model yang menarik kalangan anak-anak muda, baik yang sudah berkerudung maupun yang kemudian tertarik memakai kerudung.
Padahal, untuk memproduksi jilbabnya, Wulan hanya bekerjasama dengan ibu-ibu rumah tangga di sekitar rumah dan butiknya di Semarang. Selain mempunyai 25 anak buah, Wulan juga merangkul 40-an ibu rumah tangga untuk menjahit jilbabnya.
Dari model kerjasama ini, kata Wulan, ibu-ibu di sekitar rumahnya bisa mendapat penghasilan rata-rata Rp 1,3 juta per bulan. “Jadi selain berbisnis, saya bisa memberdayakan masyarakat juga,” tutur sosok yang masih belajar di program Magister Manajemen di Undip ini.
Wulan kini memperluas produknya ke baju gamis dan boneka berkerudung yang diberi nama Miuchan. Boneka dibanderol Rp 90 ribu untuk yang kecil sampai Rp 200 ribu untuk yang berukuran paling besar.
Untuk memasarkan produknya, Wulan menggandeng
reseller dari berbagai kota di Indonesia. Para
reseller ini bisa memesan produk dengan potongan harga khusus untuk pembelian dalam jumlah besar.
Reseller ini kemudian membentuk komunitas sendiri, yang disebut Wanita Muslimah Miliuner. Kini komunitas ini sudah beranggotakan 1.000-an orang di seluruh Indonesia.
Wulan mengatakan, fluktuasi nilai rupiah sama sekali tak berpengaruh pada bisnisnya. Begitu juga naik turunnya harga bahan bakar minyak (BBM). Soalnya seluruh bahan bakunya adalah produksi lokal dan distribusi produknya pun via
online.
Malah dengan jalur dunia maya ini, pasar hijab produksi Wulan telah merambah pasar Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Hong Kong, sampai ke Arab Saudi. Kini menjelang lebaran, permintaan terus meningkat.
Wulan juga mencoba merambah dunia digital—seperti animasi—untuk melakukan edukasi pemakaian hijab, yang menurut dia, secara otomatis juga akan meningkatkan permintaan terhadap jilbab buatannya.
Wulan mengakui memang ada kendala dalam peningkatan kapasitas produksinya di tengah tingginya permintaan terhadap jilbab buatannya. Permintaan yang ada ke tokonya, kata dia, mencapai 15.000 sampai 20.000 helai per bulan.
Tapi dengan keterbatasan SDM dan tenaga produksi yang mengandalkan ibu-ibu rumah tangga, diakuinya sementara ini sulit untuk menjawab persoalan tersebut.
Yang jelas, dengan bisnis yang makin moncer, Wulan punya alasan kuat untuk menolak permintaan orang tua. “Mereka ingin saya jadi Pegawai Negeri Sipil,” katanya, terkekeh.
(ded/ded)