Pengusaha Sawit Dukung Kewajiban Pembayaran CPO Fund

CNN Indonesia
Kamis, 26 Mar 2015 19:57 WIB
Asosiasi menilai pemberlakuan CPO Supporting Fund mampu menggairahkan kembali bisnis CPO di Indonesia yang sedang lesu akibat rendahnya harga dunia.
Seorang pekerja merapikan hasil panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tempat pengepul kelapa sawit Kunangan, Maro Sebo, Muarojambi, Jambi, Jumat (6/2). (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)
Jakarta, CNN Indonesia --
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendukung rencana pemerintah yang akan mewajibkan seluruh perusahaan anggotanya membayar dana pendukung sawit (crude palm oil/CPO supporting fund) sebesar US$ 50 untuk setiap ton CPO yang diekspor. Gapki menilai kebijakan tersebut justru bisa memperbaiki harga CPO dunia yang rendah.

Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gapki mengungkapkan CPO supporting fund diyakini akan menggairahkan kembali bisnis CPO di Indonesia yang sedang lesu akibat rendahnya harga dunia. Pasalnya, PT Pertamina (Persero) selama ini tidak mau membeli banyak biodiesel sebagai bahan campuran bahan bakar minyak (BBM) karena harganya lebih mahal daripada solar impor.

“Sementara tahun ini pemerintah tidak menyediakan subsidi untuk membantu pengusaha biodiesel sehingga bisa menjualnya dengan lebih murah. Karena Pertamina maunya membeli dengan harga MOPS dan tidak mau beli dengan harga keekonomian biodiesel, makanya dibiayai dari CPO fund ini,” kata Fadhil ketika dihubungi CNN Indonesia, Kamis (26/3).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Fadhil, kebijakan tersebut juga akan membuat konsumsi CPO di dalam negeri meningkat. Ini mengingat seluruh badan usaha yang menjual BBM bersubsidi, BBM penugasan, maupun BBM non subsidi akan menyerap lebih banyak lagi biodiesel dari industri dalam negeri.
Terlebih mulai 1 April 2015, pemerintah mewajibkan seluruh badan usaha tersebut mencampurkan 15 persen biodiesel untuk BBM jenis solar dan sejenis yang dijualnya.

“Kalau serapan dalam negeri meningkat, diharapkan harga CPO sebagai bahan baku biodiesel juga meningkat. Jadi tidak masalah jika pengusaha CPO menyubsidi dengan membayar CPO fund tersebut, karena untuk jangka panjang bisa meningkatkan permintaan dan harga itu sendiri,” jelas Fadhil.

Namun, Fadhil mengaku belum tahu jika pemerintah telah menurunkan harga indeks pasar bahan bakar nabati (HIP-BBN) melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 0726 K/12/MEM/2015 tanggal 27 Februari 2015 yang menjadi acuan perhitungan harga jual BBN yang dicampurkan dalam jenis bahan bakar tertentu. 

Aturan yang diteken Menteri ESDM Sudirman Said dan berlaku mulai 1 Maret 2015 tersebut sekaligus menganulir Keputusan Menteri ESDM sebelumnya nomor 3784K/12/MEM/2014 yang menyebutkan formula HIP adalah 103,48 persen x MOPS Gasoil.

Sementara berdasarkan aturan terbaru, HIP BBN dihitung berdasarkan harga patokan ekspor (HPE) CPO yang ditetapkan Menteri Perdagangan pada periode satu bulan sebelumnya ditambah besaran konversi CPO menjadi biodiesel sebesar US$ 188 per metrik ton dengan faktor konversi sebesar 870 kilogram (kg) per meter kubik.
Kemudian untuk HIP BBN jenis bioetanol yang dicampurkan ke dalam jenis BBM khusus penugasan didasarkan pada harga publikasi Argus untuk Ethanol free on board (FOB) Thailand dengan rata-rata periode satu bulan sebelumnya ditambah 14 persen indeks penyeimbang produksi dalam negeri dengan faktor konversi sebesar 788 kg per meter kubik.

“Besaran HIP BBN sebagaimana tersebut di atas ditetapkan setiap bulan dan dilakukan evaluasi paling sedikit enam bulan sekali oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM,” bunyi aturan tersebut.

Dengan demikian HIP BBN yang baru bisa berubah-ubah setiap bulan, mengikuti HPE yang ditetapkan Kementerian Perdagangan sementara biaya produksi tetap US$ 188 per ton tanpa memperhitungkan perubahan harga bahan baku CPO itu sendiri.

“Saya belum tahu kalau HIP berubah. Tapi yang pasti CPO fund itu belum final, masih didiskusikan,” elak Fadhil di akhir pembicaraan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER