Jakarta, CNN Indonesia -- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta pemerintah untuk menindak tegas pemilik perusahaan serta aparat yang terlibat dalam dugaan kasus perbudakan nelayan asing di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Pelanggaran hak asasi manusia terhadap anak buah kapal (ABK) tersebut diduga dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources (PBR), sebuah Indonesia yang terafiliasi dengan perusahaan Thailand.
“Lebih baik penegak hukum jujur dan menindak tegas aparat yang terlibat daripada menyatakan kepada rakyat kalau mereka tidak tahu telah terjadi perbudakan,” ujar Ketua Umum KNTI Riza Damanik, saat dihubungi CNN Indonesia, Rabu (8/4).
Menurut Riza, apabila pemerintah menyatakan ketidaktahuannya atas kejahatan kemanusian yang terjadi berarti ada ancaman serius dalam pertahanan dan keamanan tanah air. Kealpaan tersebut menunjukkan adanya ruang untuk penyebaran kejahatan berbahaya, penyakit, hingga narkotika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiga Modus PerbudakanDiakui Riza, memang sulit mengidentifikasi kegiatan perbudakan ABK asing. Hal tersebut disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, ABK asing tersebut masuk secara ilegal sehingga mereka takut melaporkan diri pada aparat berwenang. “ Dengan kondisi ilegal itu mereka sulit melaporkan (pada aparat) karena ilegal mereka tidak punya izin-izin resmi keimigrasian. Itu menyulitkan mereka ketika terkena perbudakan” tutur Riza.
Kedua, kegiatan perbudakan biasanya terjadi di tempat yang sulit dijangkau baik melalui akses transportasi maupun komunikasi. Hal ini menyulitkan dari sisi pengawasan baik dari aparat maupun masyarakat. “(Perbudakan) bukan praktik baru tetapi kenapa bisa berlangsung karena memang tidak ada aktivitas masyarakat yang dominan di sana,” ujarnya.
Ketiga, praktik mafia perikanan yang rapi membuatnya kerap lepas dari jeratan undang-undang. Menurut Riza, oknum-oknum pelaku dalam mafia perikanan dapat berasal dari pengusaha lokal, pengusaha asing, hingga aparat pemerintah.
“Akal sehat kita sulit menerima kalau seandainya aparat tidak tahu (ada kegiatan perbudakan) apalagi kalau jumlah (ABK asing) nya sampai 300-an,” tutur Riza.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kegiatan perbudakan dan pencurian ikan secara umum Riza berharap pemerintah dapat mengungkap dan memberikan hukuman berat pada aktor –aktor intelektual mafia perikanan. Selain itu, pemerintah juga perlu melibatkan nelayan lokal dan masyarakat dalam pengawasan.
Seperti yang dilaporkan sebelumnya,PBR telah mempekerjakan 1.128 ABK asing dari 4 negara dengan rincian 745 orang ABK merupakan warga negara Thailand, 316 ABK warga negara Myanmar, 58 warga negara Kamboja dan 8 orang berkewarganegaraan Laos. Saat ini, 322 orang ABK telahdievakuasi dari Benjina ke pelabuhan Tual Maluku untuk diperiksa lebih lanjut dan dipulangkan kembali ke asalnya.
(gen)