PP Telat Diteken, Pemungutan CPO Fund Molor

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Selasa, 21 Apr 2015 16:51 WIB
Rencana pemerintah mengutip dana pendukung sawit (CPO Supporting Fund) pada bulan ini molor. PP baru diparaf Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah mengutip dana pendukung sawit (CPO Supporting Fund) pada bulan ini molor. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoeo mengatakan kemungkinan besar para ekportir CPO baru akan ditagih pada bulan depan setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi payung hukum.

"PP baru saya paraf, nanti sebentar lagi ditandatangani Presiden. (Kemungkinan) Mei bisa (dipungut)," ujarnya di sela acara World Economic Forum (WEF) di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa (21/4).

Menurutnya, mundurnya penerbitan PP karena proses perencanaan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) pengelola CPO Fund yang membutuhkan waktu perencanaan. Namun, dengan tuntasnya perumusan PP, maka secepatnya kebijakan itu bisa dieksekusi setelah PP-nya diundangkan.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai informasi, pemerintah akan mengenakan pungutan CPO Supporting Fund atas setiap penjualan CPO sebesar US$ 50 per ton dan/atau US$ 30 per ton dari penjualan Olein. Pengenaan CPO Fund terkait dengan program pencampuran 15 persen bahan bakar nabati (BBN) ke produk bahan bakar minyak (BBM) yang dimulai 1 April 2015.

Hasil dari pungutan tersebut antara lain akan digunakan untuk menutup selisih harga pembelian BBN domestik yang lebih tinggi dibandingkan harga produk sejenis di pasar Singapura (MOPS). Selain itu, CPO Fund juga akan dipakai untuk mendanai kegiatan penanaman ulang (replanting) sekitar 2 juta hektar lahan kelapa sawit masyarakat yang sudah menunjukan penurunan produktivitas.

Franky Oesman Widjaja, Presiden Direktur Sinar Mas Agribusiness & Food, merespon positif kebijakan mandatory pencampuran biofuel yang dibarengi dengan pengenaan CPO Fund. Menurutnya, sawit merupakan komoditas yang bisa diolah untuk berbagai kebutuhan, seperti untuk makanan, produk kimia, hingga bahan bakar.

"Terkait mandatory biofuel itu kalau tidak salah tergantung produksi atau kapasitas terpasang, sekitar 60 persen semuanya dapat (kewajiban pasok)," tuturnya.

Sinar Mas, kata Franky, tahun ini belum akan berpartisipasi memasok BBN mengingat produksi biofuel baru akan mulai dilakukan pada tahun depan. Namun, perseroan siap untuk memasok CPO untuk kebutuhan produksi BBN.

Dengan kebijakan mandatory biofuel dan peningkatan kapasitas produksi CPO, Franky optimistis dapat meniadakan impor CPO di masa mendatang. Selama ini, kata dia, rata-rata per tahun Indonesia mengimpor 45 juta ton CPO.

"Artinya kalau produksi nasional bisa 60 juta ton hingga 70 juta ton per tahun, kita bisa me-replace 100 persen impor dan sisanya masih ada 20 juta ton untuk diekspor," katanya menjelaskan. (ags/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER