BKPM: Surat Menteri Susi Tak Cukup Untuk Cabut Izin Benjina
Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Kamis, 23 Apr 2015 13:25 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti saat memberikan keterangan terkait evaluasi dan tindak lanjut penanganan ABK kapal asing di Benjina oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta, Rabu, April 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebut surat yang dilayangkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk merekomendasikan pencabutan izin PT Pusaka Benjina Resources (PBR) dinilai tidak cukup kuat untuk membekukan kegiatan PBR.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal BKPM Azhar Lubis mengungkapkan, instansinya tak bisa mencabut izin PBR jika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak menyertakan bukti-bukti yang memperkuat alasan permintaan pencabutan izin PBR.
"Surat dari KKP hanya satu lembar, tidak ada lampiran bukti-bukti dugaan perbudakan. Kalau masih diduga dan segala macamnya, tidak bisa disebut melanggar hukum dan kami tidak bisa mencabut Surat Izin Usaha Penanaman Modal sektor Perikanan dan Izin Usaha Tetap sektor Perikanan milik PBR," ujar Azhar di Jakarta, Kamis (23/4). Perihal mekanisme pencabutan izin, menurut Azhar pihaknya telah berkoordinasi dengan KKP dalam pertemuan kemarin sore yang membahas tentang pencabutan izin PBR. BKPM pun akan sangat berhati-hati di dalam mencabut izin penanaman modal yang dilakukan oleh perusahaan asing.
Ini lantaran selain mendatangkan investor masuk ke Indonesia BKPM juga memiliki tugas untuk menjaga kepastian hukum harus ditegakkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami minta laporan dan bukti-bukti, apa saja yang terjadi disana berdasarkan temuan lapangan dari KKP. Termasuk minta KKP juga menyerahkan bukti pelanggaran hukum dari sisi ketenagakerjaan yang diterbitkan Kementerian Ketenagakerjaan, bukti tindak pidana dari Kepolisian dan sebagainya. Karena BKPM tidak pergi ke Benjina sana, mereka yang memiliki itu semua," ujarnya.
Selain menjaga kepastian hukum, Azhar bilang tidak serta mertanya pencabutan izin juga dimaksudkan agar negara tidak dirugikan jika pada akhirnya perusahaan tersebut melakukan gugatan balik. "Oleh karena itu, kami tunggu kelengkapan data dari KKP. Surat selembar yang disampaikan ke kami masih sangat umum," tegasnya.
Sebagai pengingat, kasus BPR bermula tatkala Tim Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Illegal Fishing mendapati 322 anak buah kapal (ABK) asing yang terdampar di areal pabrik milik PT Pusaka Benjina Resorces (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Mereka diduga menjadi korban kerja paksa oleh perusahaan perikanan berbendera Thailand di wilayah Indonesia.
Mas Achmad Santosa, Ketua Tim Satgas Pemberantasan Illegal Fishing, menyebutkan jumlah korban pebudakan terbanyak adalah warga negara Myanmar, yakni sebanyak 256 orang. Terbanyak kedua adalah ABK dari Kamboja sebanyak 58 orang. Sisanya delapan ABK berasal dari Laos.