Kepala BKF Jelaskan Beda Sunset Policy Jilid II

Elisa Valenta Sari | CNN Indonesia
Rabu, 29 Apr 2015 08:16 WIB
Kali ini, Ditjen Pajak tidak akan menerima dan mempercayai begitu saja pembetulan SPT yang dilakukan wajib pajak.
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah akan menerapkan kebijakan penghapusan sanksi bunga atas kekurangan pembayaran pajak melalui pembetulan surat pemberitahuan (SPT) atau sunset policy mulai 1 Mei mendatang.

Lantas apa yang membedakan kebijakan fiskal jilid II tersebut dengan sunset policy yang pernah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 2008 lalu?

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan setidaknya ada satu perbedaan mendasar dari sunset policy di era Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Sigit Priadi Pramudito kali ini dengan yang diterapkan Darmin Nasution, Dirjen Pajak terdahulu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Strategi besarnya sama yaitu out reach wajib pajak akan dilakukan setelah pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) dimasukkan. Tetapi kalau dulu pembetulan dilakukan secara sukarela, yang sekarang ini Ditjen Pajak sudah ada datanya," ujar Suahasil di Jakarta, Selasa (28/4) petang.

Artinya, DJP tidak akan menerima begitu saja pembetulan SPT yang dilakukan wajib pajak namun akan melakukan pemeriksaan silang dengan menggunakan data yang dimilikinya.

Menurut Suahasil, wajib pajak baru bisa memperoleh penghapusan denda setelah melaporkan SPT pajak penghasilannya (PPh) kepada DJP.

Sunset policy kan menyasar para wajib pajak yang melakukan kesalahan dalam melaporkan SPT nya. Nantinya yang sudah bayar pajak dengan rapih dan benar tidak akan disentuh,” kata Suahasil.

Dongkrak Penerimaan Pajak

Meskipun metode yang digunakan dalam menjaring kesukarelaan wajib pajak untuk membetulkan SPT berbeda, namun Suahasil memastikan tujuan akhir dari sunset policy beda generasi itu sama saja, yaitu meningkatkan penerimaan pajak yang melempem sepanjang kuartal I 2015.

“Kebijakan ini dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui penerimaan pajak,” ujarnya.

Sepanjang Januari-Maret 2015, jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan DJP sebesar Rp 198,2 triliun atau baru 15,3 persen dibandingkan dengan target yang dibebankan tahun ini Rp 1.294,2 triliun. Realisasi tersebut mengalami penurunan 5,6 persen dibandingkan pendapatan kuartal I 2015 yang mencapai Rp 210 triliun.

Dari 17 jenis pajak yang dipungut oleh DJP, hanya enam pos penerimaan pajak yang mengalami kenaikan, yakni pajak penghasilan (PPh) pasal 21, PPh pasal 23, PPh pasal 25/29 orang pribadi (OP), PPh pasal 26, PPh final, dan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri.

Sebaliknya, 11 jenis pajak lainnya mengalami pertumbuhan negatif. Pada kelompok PPh non-migas, yang mengalami kontraksi adalah PPh pasal 22 minus 5,9 persen, PPh pasal 22 impor negatif 9,95 persen, PPh pasal 25/29 badan turun 14,68 persen, dan PPh non-migas lainnya terkoreksi 8,57 persen.Kendati demikian, secara kumulatif penerimaan PPh non-migas meningkat 1 persen, dari Rp 103,86 triliun pada kuartal I 2014 menjadi Rp 104,9 triliun pada Januari-Maret 2015.

Sementara untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) secara total sebesar Rp 83 triliun, turun 2,43 persen dari pencapaian kuartal I 2014 yang mencapai Rp 85,15 triliun.

Kendati PPN dalam negeri tumbuh 2,86 persen, dengan perolehan Rp 47,4 triliun, tetap tak mampu menyelamatkan pos penerimaan ini dari kemerosotan. Pasalnya, empat jenis pajak lainnya mengalami kontraksi cukup besar, yakni PPN impor minus 7,99 persen, PPnBM dalam negeri negatif 5,91 persen, PPnBM impor anjlok 29,24 persen, dan PPN/PPnBM lainnya merosot 55,44 persen. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER