Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan pemberian insentif fiskal oleh pemerintah berupa
tax holiday dan
tax allowance dianggap pengusaha bukan sebagai penarik utama investasi masuk ke Indonesia. Menurut mereka, regulasi pemerintah yang memberikan kepastian keberlangsungan usaha dianggap sebagai faktor utama penarik investasi.
Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, salah satu kebijakan pemerintah yang mampu menarik investasi di bidang tekstil adalah kebijakan terkait kerjasama perdagangan bebas (
Free Trade Agreement/FTA) dengan regional lainnya. Hal ini dianggap Ade lebih penting dibanding isentif fiskal mengingat hasil produksi ini berorientasi ekspor.
"Adanya
tax allowance akan lebih efektif jika disertai dengan FTA. Selama ini produk tekstil kita kalah saing dengan Vietnam dan Tiongkok karena mereka memiliki FTA dengan negara lain, sehingga harga produk kita lebih mahal 11 hingga 30 persen karena dikenakan bea masuk," ujar Ade di Jakarta, Rabu (6/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ade menilai tidak adanya kesepakatan FTA untuk produk tekstil Indonesia sering membuat investor batal merealisasikan investasi karena tidak ada kejelasan mengenai penguatan daya saing. Khusus untuk industri tekstil, Ade menginginkan adanya kerjasama khusus dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat mengingat kedua wilayah tersebut adalah daerah tujuan utama ekspor tekstil Indonesia.
“Kami harap FTA dengan Eropa bisa berjalan dalam tiga tahun ke depan. Semoga bisa meningkatkan nilai investasi di Indonesia,” tambahnya.
Perlu diketahui bahwa nilai ekspor tekstil dan produk turunannya pada 2014 mencapai US$ 12,74 juta atau 7,2 persen dari total ekspor non migas nasional 2014 yang mencapai US$ 176,29 juta. Dari angka tersebut, sebanyak 32,3 persen diekspor ke Amerika Serikat.
Sedangkan realisasi investasi dalam negeri di sektor ini pada 2014 mencapai angka Rp 1,45 triliun dan US$ 422,5 juta investasi asing.
Industri Alas KakiSejalan dengan Ade, Ketua Dewan Pembina Asosasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Harijanto mengatakan bahwa adanya FTA ini bisa meningkatkan daya saing industri alas kaki Indonesia di pasar dunia mengingat saat ini kontribusi suplai sepatu Indonesia sebesar 2 persen dengan nilai US$ 4 Miliar.
Dengan momentum meningkatnya upah tenaga kerja di Tiongkok, ia mengatakan bahwa kebijakan FTA dapat membuat banyak perusahaan sepatu di negara tirai bambu itu melakukan relokasi ke Indonesia.
"Sama seperti tekstil, kami juga berorientasi ekspor sehingga lebih butuh kebijakan FTA dibandingkan tax allowance. Saya perhatikan, Indonesia ini potensial karena negara demokrasi namun tidak punya perjanjian FTA dengan siapapun," jelasnya.
Jika pemerintah mau memberlakukan FTA, maka ia yakin bahwa investasi di sektor industri alas kaki akan meningkat signifikan. Dengan hitungan setiap investasi sebesar US$ 100 juta dapat menyerap 10 ribu tenaga kerja, Harijanto berharap kebijakan FTA ini juga dapat meningkatkan serapan tenaga kerja.
"Kalau dikembangkan dengan serius, bisa saja mengambil 35 persen perusahaan dari Tiongkok dan angka target serapan tenaga kerja sebesar 2 juta orang per tahun pasti bisa dicapai dengan mudah," tuturnya.
Sebagai informasi, nilai investasi dalam negeri di sektor industri kulit dan sepatu tahun lalu mencapai Rp 103,1 miliar serta investasi asing mencapai US$ 210,6 juta.
(gen)