Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan pemerintah untuk menurunkan acuan harga jual atau
threshold hunian kelas premium yang terkena pajak penghasilan (Pph 22) menjadi Rp 5 miliar dari sebelumnya Rp 10 miliar dinilai bertentangan dengan semangat otoritas keuangan untuk menggenjot pertumbuhan kredit.
"Sangat kontradiktif, di satu sisi ingin menggenjot pertumbuhan kredit properti yang melemah tapi di satu sisi ingin dikenakan pajak dengan kategori barang sangat mewah," ujar Kepala Ekonom PT Bank Tabungan Negara (BTN) Agustinus Prasetyantoko di Jakarta, Jumat (8/5).
Prasetyantoko mengatakan pemerintah perlu menyelaraskan kembali Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah dengan kebijakan perbankan yang menginginkan kredit sektor properti bangkit kembali setelah pada kuartal I 2015 mengalami kemerosotan akibat pelambatan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih kini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah berusaha melonggarakan sejumlah aturan syarat kredit rumah melalui loan to value (LTV), namun upaya tersebut harus dibenturkan oleh kepentingan pemerintah untuk mengejar target penerimaan pajak sebesar Rp 1.244 triliun tahun ini. Ini ditengarai mampu melemahkan daya beli konsumen yang ingin mengajukan kredit di sektor properti.
Apalagi menurutnya, klasifikasi harga apartemen atau hunian untuk harga Rp 5 miliar sudah bukan lagi tergolong sangat mewah, khususnya untuk kota besar seperti Jakarta.
"Harus dijelaskan, pemerintah ingin mengejar penerimaan pajak, tapi juga harus dijelaskan klasifikasi mewahnya seperti apa. Supaya tidak ada kesan ini adalah suatu kebijakan yang kontradiktif," katanya.
Sebelumnya, Realestat Indonesia (REI) meminta pemerintah untuk dapat membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.03/2015 tersebut. Aturan yang menurunkan acuan harga jual atau threshold atas hunian kelas premium yang terkena PPh pasal 22 menjadi Rp 5 miliar dari sebelumnya Rp 10 miliar tersebut dinilai memberatkan penjualan anggota REI.
Wakil Ketua Umum Bidang Komunikasi dan Pengembangan Usaha REI Theresia Rustandi menyebut momentum diterbitkannya aturan pada 30 April 2015 usai diteken Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro sangat tidak tepat. Sebab menurutnya sebagian besar perusahaan pengembang mengalami penurunan penjualan sepanjang Januari-Maret 2015 akibat daya beli masyarakat yang rendah.
“Sepanjang tiga bulan pertama kondisi perekonomian sedang turun dan langsung berdampak ke kinerja pengembang. Indikatornya lihat saja kinerja kuartal I emiten properti, seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan aturan baru yang akan berdampak negatif bagi industri,” kata Theresia ketika dihubungi, Jumat (8/5).
(gir/gir)