Ciputra Development Anggap Aturan PPh Apartemen Tak Logis

Giras Pasopati | CNN Indonesia
Jumat, 08 Mei 2015 14:05 WIB
“Idealnya kalau dulu acuannya Rp 10 miliar, ya sekarang jadi Rp 13 miliar misalnya. Kalau turun malah seperti pemiskinan,” ujar Direktur Ciputra.
Pengunjung mengamati maket rumah dalam pameran properti yang diselenggarakan Real estate Indonesia (REI) di Balai Sidang Jakarta, Sabtu 15 November 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengembang properti, PT Ciputra Development Tbk menyatakan perubahan kriteria barang sangat mewah yang mencakup acuan nilai apartemen dalam penentuan pajak penghasilan (PPh 22) dinilai tidak logis dan malah menunjukkan bentuk pemiskinan. Perseroan menyatakan aturan baru tersebut bakal berdampak ke hampir semua apartemen Ciputra Development di Jakarta.

“Sebenarnya itu bukan aturan baru. Karena sebelumnya nilai acuan yang dipakai Rp 10 miliar untuk kategori sangat mewah, kemudian jadi Rp 5 miliar. Tapi kan ini tidak logis, artinya kita malah semakin miskin,” jelas Direktur Ciputra Development, Tulus Santoso kepada CNN Indonesia, Jumat (8/5).

Hal itu terkait Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut, aturan tersebut menurunkan acuan harga jual atau threshold atas hunian kelas premium yang terkena PPh 22 menjadi Rp 5 miliar dari nilai sebelumnya Rp 10 miliar.

Luas bangunan yang terkena PPh 22 berdasarkan aturan baru, jauh lebih kecil dibandingkan aturan sebelumnya yaitu 500 meter persegi untuk rumah tapak dan 400 meter persegi untuk apartemen, kondominium, dan sejenisnya.

Tulus menjelaskan, logikanya, setiap tahun nilai dari suatu properti bakal bertambah tersebut, apalagi terdapat inflasi yang membuat terjadinya peningkatan harga. Atas dasar hal tersebut, maka menurutnya penurunan nilai acuan dalam kategori barang sangat mewah tidaklah masuk di akal.

“Idealnya kalau dulu acuannya Rp 10 miliar, ya sekarang jadi Rp 13 miliar misalnya. Kalau turun begini kan malah seperti pemiskinan,” jelasnya.

Dia menilai, pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, seharusnya melakukan dialog dengan para pelaku bisnis sebelum memutuskan peraturan. Pasalnya, jangan sampai target pajak yang dicatat dengan tinggi malah membuat ekonomi melesu.

“Harus ada dialog. Apalagi kita semua tahu kemarin saja pada kuartal I pertumbuhan ekonomi melambat. Properti juga melemah pada kuartal I 2015. Harusnya ada insentif pajak, bukannya disinsentif pajak seperti ini,” ungkapnya.

Efek Negatif

Tulus mengungkapkan, peraturan yang menurunkan acuan harga jual atau threshold atas hunian kelas premium yang terkena pajak penghasilan (PPh 22) menjadi Rp 5 miliar dari sebelumnya Rp 10 miliar tersebut bakal menghambat kinerja penjualan perseroan.

“Pasti memiliki efek. Karena rata-rata apartemen kami yang ada di Jakarta berada di kisaran harga tersebut,” jelasnya.

Lebih lanjut, dia mengemukakan, kontribusi penjualan apartemen terhadap total pendapatan Ciputra Development berkisar di level 15 persen. Atas dasar hal tersebut, maka menurutnya penjualan ke depannya bakal terganggu.

“Masalahnya kan ini dibebankan kepada pembeli sebesar 5 persen. Hal itu pasti bakal membuat pembeli berpikir ulang dalam memutuskan untuk memiliki apartemen,” ucap Tulus.

Untuk diketahui, sebelumnya Ciputra Development gagal mencapai target penjualan pada kuartal I 2015. Perusahaan ini membukukan pendapatan penjualan sebesar Rp 1,7 triliun.

Sebetulnya penjualan ini naik tipis 13,33 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 1,5 triliun. Namun menurut Tulus sebelumnya, jumlah itu berada di bawah target perusahaan yang sebesar Rp 2,12 triliun.
(gir/ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER