Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memperkirakan penjualan cokelat Indonesia bisa meningkat sebesar 25 persen dalam lima tahun ke depan. Meningkatnya permintaan cokelat dari negara-negara di kawasan Asia akan terjadi seiring dengan meningkatnya perekonomian regional.
Menurut JK, selama ini Uni Eropa, Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, India, Jepang, dan Timur Tengah menjadi pasar yang menyerap cokelat paling banyak. Di Asia sendiri, JK menilai cokelat secara tradisional belum menjadi pilihan.
“India dan Tiongkok dengan total populasi 2,5 miliar penduduk saja hanya mengonsumsi 250 gram per kapita per tahun. Tapi seiring pertumbuhan ekonomi, permintaan bisa naik 25 persen dalam lima tahun,” kata JK saat memberi sambutan pada jamuan santap malam Triannual Cocoa Dinner di JW Marriot London, dikutip dari keterangan resmi, Minggu (17/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia menurut JK harus bisa memanfaatkan peluang tersebut. Caranya adalah dengan meningkatkan produksi yang saat ini mencapai 700 ribu ton per tahun.
“Sekarang, sudah lebih dari 1,2 juta hektare tersebar di wilayah Indonesia. Kami memproduksi rata-rata 700 ribu ton setiap tahunnya,” kata JK.
JK mencatat tidak kurang dari 95 persen perkebunan kakao di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat yang menghidupi sekitar 1,7 juta rumah tangga petani. Lebih dari setengah kakao ditanam di Pulau Sulawesi, tepatnya di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat.
“Kakao merupakan penghasil devisa terbesar ketiga di sektor pertanian Indonesia, setelah karet dan kelapa sawit,” ucap Mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Tantangan PenjualanNamun, upaya Indonesia untuk dapat memperbesar ekspor kakao juga tidak luput dari kendala. Menurut JK, sejak 2010 penjualan ekspor kakao mengalami penurunan. Sebab industri dalam negeri juga banyak yang menggunakannya. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai produsen, konsumen, serta eksportir kakao pada waktu yang bersamaan.
“Namun, ada kendala eksternal yang juga menghambat ekspor kakao ini seperti kakao asal Indonesia sulit masuk ke Uni Eropa akibat hambatan tarif yang diskriminatif,” ujarnya.
Selain itu, ketersediaan lahan dan topografi dianggap sebagai tantangan besar untuk meningkatkan produksi secara signifikan. Pada tahun 2020, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kakao sebagai bahan baku di Asia dan Amerika Latin, Tiongkok dan Brasil pada khususnya, Internasional Cocoa Organisation (ICCO) memperkirakan dunia akan kekurangan bahan baku.
“Namun, dalam pandangan saya, tantangan ini berarti kesempatan untuk kita semua,” katanya.