Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) Faisal Basri meminta manajemen PT Pertamina (Persero) untuk membatalkan kontrak pembelian minyak impor sepanjang 2015 yang sudah dibuat oleh anak usahanya Pertamina Energy Trading Limited (Petral) melalui Pertamina Energy Services (PES).
Berdasarkan catatan CNN Indonesia, pada Maret 2015 lalu Faisal pernah menyebut Petral telah membuat kontrak pengadaan minyak sebanyak 6 juta barel dari total 8 juta sampai 9 juta barel yang akan diimpor badan usaha milik negara (BUMN) migas sepanjang tahun ini.
Ketika itu, Faisal menyebut kontrak impor tahun ini sudah dibuat Petral pada akhir 2014 ketika masih dipimpin oleh Bambang Irianto sebagai Presiden Direktur. Kontrak tersebut bertenor enam bulan atau hingga Juni 2015 mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Mudah-mudahan Pertamina usahakan impor tidak sampai Juni lah. Tapi tidak tahu bisa atau tidak, karena kontrak kan ada masalah hukum,” ujar Faisal di Jakarta, Minggu (17/5).
Ekonom Universitas Indonesia itu mengatakan jika Pertamina berani membatalkan kontrak yang dibuat Petral, maka penghematan dari pengadaan minyak impor bisa lebih besar lagi. Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengakui setelah tiga bulan menjalankan rekomendasi Tim Antimafia Migas untuk melakukan impor minyak melalui divisi Integrated Supply Chain (ISC), penghematan yang bisa dilakukan perusahaan mencapai US$ 22 juta.
“Itu baru dari 1/6 total pengadaan, karena 5/6 lainnya sudah ditutup oleh PES,” jelas Faisal.
Di akhir purna tugasnya sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Faisal kembali mengingatkan bahwa di negara manapun industri migas selalu menawarkan keuntungan sekaligus risiko penjara bagi para pejabat negara maupun perusahaan negara yang hendak memperkaya diri sendiri maupun kelompoknya.
“Minyak di mana-mana licin. Tidak hanya Indonesia tetapi juga Rusia, Brasil, bahkan Tiongkok yang punya tiga perusahaan minyak nasional selalu kena intervensi dari luar,” kata Faisal.
Dia mencontohkan kasus Petróleo Brasileiro S.A. atau Petrobras, perusahaan minyak asal Brasil telah mengakibatkan 20 lebih politisi senior negara tersebut dipenjara.
“Indonesia bisa tiru model pengelolaan migas Pemerintah Norwegia, Malaysia, atau Inggris yang memisahkan minyak dengan kekuasaan. Kemampuan mereka untuk memperkokoh kelembagaan migas supaya tidak mudah digerayangi pihak luar,” ujar Faisal.
Bisnis JumboMenteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan dukungannya agar Indonesia bisa menerapkan pemisahan industri migas dari intervensi politik. Mantan Direktur Utama PT Pindad (Persero) itu mengaku tidak kaget jika bisnis jual-beli minyak yang dilakukan Pertamina banyak diintervensi oleh para politisi, mengingat nilai bisnisnya yang jumbo.
Sudirman mencatat, setiap hari Pertamina membeli devisa dari perbankan sebesar US$ 150 juta per hari untuk menjalankan bisnis minyak yang banyak bertransaksi dengan dolar. Sementara ketika impor minyak masih dilakukan oleh Petral, Sudirman pernah menuturkan bahwa anak usaha Pertamina itu bisa memperoleh diskon harga antara US$ 0,3 sampai US$ 1,3 per barel.
“Pertanyaan larinya diskon tadi ke siapa? Kalau impor sehari sebanyak 400 ribu-500 ribu barel sehari saja, Anda bisa hitung. Ini yang jadi lahan bagaimana masa lalu suasana masih gelap dijadikan lahan main-main. Sektor ini harus pelan-pelan direnggangkan dari sektor politik,” kata Sudirman.
(gen)