Gappri: Ratifikasi FCTC Akan Mematikan Industri Rokok

CNN Indonesia
Senin, 08 Jun 2015 17:27 WIB
"Di satu sisi, ada kampanye anti rokok. Di sisi lain, ada bisnis jualan obat berhenti merokok," ujar Sekjen Gappri Hasan Aoni Aziz.
Ilustrasi rokok. (Pixabay/Tatlin)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mendukung langkah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tidak meratifikasi aturan antitembakau buatan World Health Organization (WHO), Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Sesuai ketentuan FCTC, jika Indonesia sebagai anggota WHO turut meratifikasi aturan tersebut maka rokok beraroma seperti rokok kretek tidak dibolehkan untuk diproduksi bahkan harus dibasmi. Sebab rokok kretek diyakini WHO memicu orang untuk memulai merokok.

“Padahal sejak berabad lalu perokok Indonesia sudah terbiasa dengan rokok kretek yang mengandung cengkeh. Karena itu kalau kita meneken FCTC pasti akan memukul industri rokok kretek. Hal itu tentu akan merugikan negara, para petani tembakau, pekerja di pabrik rokok, dan pelaku industri hasil tembakau,” ujar Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni Aziz di Jakarta, Senin (8/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Oleh karena itu, Gappri menurut Hasan mendukung sikap pemerintah Indonesia yang tidak menandatangani FCTC. Sejak Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tidak pernah meratifikasi FCTC. Menurut Hasan, Amerika Serikat yang mensponsori FCTC saja tidak ikut meratifikasi aturan tersebut.

“Ada 18 juta orang mulai dari hulu hingga hilir yang hidup dari industri rokok kretek di Indonesia. Itu bukan angka yang sedikit jika dikaitkan dengan sisi perekonomian. Meski belum meratifikasi FTCT, tapi 95 persen pelaku industri sudah melaksanakannya,” kata Hasan.

Hasan menambahkan bahwa FCTC dan aturan-aturan anti rokok lainnya mempersepsikan bahwa perokok adalah orang yang mesti diatur, bahkan mesti disingkirkan dalam ruangan merokok yang sempit. Aturan tersebut juga menjadikan seorang perokok seperti orang pesakitan yang mesti diterapi oleh klinik dan terapi penyembuhan merokok.

Di sisi ini, kata Hasan, suasana bisnis farmasi sangat kental dalam isu FCTC. Dengan membuat klaim bahwa rokok merusak kesehatan, mereka menjual produk penyembuhan dari rokok.

“Di satu sisi, ada kampanye anti rokok. Di sisi lain, ada bisnis jualan obat berhenti merokok. Itu keterkaitan yang tak bisa dipisahkan karena FCTC lahir diinisiasi oleh perusahaan farmasi global," ujarnya.

Tidak Objektif

Pada kesempatan yang sama, Hasan mengkritik kalangan perguruan tinggi yang dinilainya gagal bersikap objektif dalam menyikapi perdebatan FCTC di Indonesia. Sikap berpihak itu menurutnya tampak dalam sebuah diskusi yang digelar salah satu Universitas Islam di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu (7/6) kemarin.

Dalam undangan awal diskusi tersebut, panitia mengundang sejumlah tokoh dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, perwakilan Kementerian Luar Negeri, perwakilan Kementerian Perindustrian, Gappri, dan perwakilan mahasiswa.

Namun, menjelang kegiatan berlangsung, komposisi pembicara berubah setelah perwakilan pemerintah tidak hadir. Panitia kemudian membatalkan Hasan dari daftar pembicara seminar tersebut meskipun sudah datang ke tempat acara.

“Seminggu sebelum acara saya sudah siapkan bahan yang dibutuhkan. Seharusnya forum ilmiah seperti ini objektif, bukan hanya mendukung pihak yang antitembakau,” kata Hasan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER