Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti untuk memperpanjang moratorium kapal sampai 31 Oktober 2015 dikeluhkan para pengusaha penangkapan udang. Perpanjangan jangka waktu pelarangan kapal ikan eks impor dengan kapasitas lebih dari 30 gross ton (GT) tersebut dinilai akan benar-benar mematikan bisnis penangkapan udang.
Tri Antoro, Wakil Ketua I Bidang Peraturan dan Perizinan Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI) menjelaskan asosiasinya yang berdiri sejak 1974 lalu hanya tinggal memiliki tujuh anggota yang mengoperasikan 61 kapal penangkap udang.
“Awalnya ada 136 kapal, tetapi akibat banyak perusahaan anggota HPPI yang gulung tikar sekarang hanya tinggal 61 kapal milik tujuh perusahaan. Itu pun hanya satu unit yang diizinkan beroperasi karena buatan lokal,” kata Tri saat berkunjung ke kantor CNN Indonesia, Jakarta, Jumat (12/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Tri, berkurangnya jumlah anggota HPPI akibat tidak bisa lagi menanggung beban operasional untuk menggaji karyawan dan anak buah kapal. Pasalnya moratorium yang diberlakukan Susi sejak 3 November 2014 tidak mengizinkan anggotanya untuk menyebar kapal ke laut guna mencari udang yang bisa dijual untuk membayar gaji tersebut.
Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Umum PT Dwi Bina Utama itu menilai Peraturan MKP Nomor 56 sangat bagus untuk memberantas illegal fishing, dan HPPI mendukung upaya Susi karena hal itu merugikan negara.
“Tetapi kok semakin kesini jadi tidak jelas, awalnya hanya 6 bulan tetapi mengapa diperpanjang dengan alasan hasil analisis dan evaluasi (anev) tim Satgas Anti
Illegal Fishing belum selesai?” kata Tri.
Jika tim Satgas ingin menelusuri pajak, legalitas kapal, dan aspek ketaatan hukum lainnya dari anggota HPPI, Tri mengaku sudah menyerahkan semua data yang diminta kepada pemerintah.
Ia mengaku sudah empat kali mengajukan surat permohonan untuk dapat melakukan audiensi dengan Menteri Susi, namun yang bersangkutan selalu mengirimkan pejabat eselon I atau dibawahnya untuk mewakili. Usai pertemuan digelar pun, HPPI belum mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapi.
“Kami tidak pernah dapat penjelasan, kemana kami harus mengadu,” ujarnya.
SIPI Tak BerlakuKetua Umum HPPI Endang Roesbandini menambahkan berdasarkan data yang ada di asosiasi, seharusnya masih ada 10 kapal milik perusahaan anggotanya yang masih bisa melaut karena Surat Izin Kapal Penangkapan Ikan (SIPI) nya baru berakhir pada 3 dan 10 Oktober 2015. Namun, larangan tidak tertulis yang disampaikan petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada pemilik kapal membuat pengusaha mengurungkan niatnya menugaskan nahkoda mengarungi laut.
“Padahal kami sudah membayar Surat Perintah Pembayaran Pungutan Hasil Perikanan (SPP-PHP), jadi seharusnya SIPI itu merupakan hak kami,” tegas Endang.
Ia menilai semakin lama tim Satgas Anti
Illegal Fishing mengumumkan hasil anev, maka semakin banyak karyawan dan ABK yang bekerja di kapal milik anggota HPPI yang menganggur.
“Kalau memang kami tidak melanggar apa pun, harusnya sudah boleh beroperasi. Lalu kalau hasil anev menyebut kami melakukan kesalahan, apakah kami bisa melakukan pembelaan? Kami ingin tahu sampai mana kami punya hak?” tegasnya.
Ratna Dewi Setiasari, Bendahara Umum HPPI yang juga Direktur Keuangan dan Umum PT Alfa Kurnia mengatakan perusahaannya harus menghadapi tekanan finansial sejak moratorium diberlakukan. Alfa Kurnia disebutnya harus menguras kas untuk memberikan pesangon akibat banyak merumahkan karyawannya.
"Dari Desember 2014 kami sudah tidak operasi. Kami telah melakukan PHK terhadap 157 karyawan itu dan harus membayar sekitar Rp 3 miliar. Bagaimana kalau ternyata moratorium diperpanjang lagi setelah Oktober 2015? Kami harus bayar hak karyawan pakai apa?” kata Ratna.
(gen)