Jakarta, CNN Indonesia -- Fenomena perlambatan ekonomi China yang berujung pada anjloknya perdagangan bursa saham Shanghai, Shenzen, dan Hang Seng, Rabu (8/7) kemarin, membuat galau perusahaan-perusahaan batubara Indonesia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Supriatna Suhala mengatakan melambatnya ekonomi China sejak tahun lalu telah membuat nilai ekspor batubara Indonesia ke negeri tirai bambu hingga semester I 2015 turun hingga 20 persen.
Hal tersebut terutama disebabkan oleh berkurangnya penggunaan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik di China. Kebijakan tersebut membuat pasokan batubara di China sendiri berlebih dan menekan nilai ekspor batubara Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apalagi ketika China mulai melakukan diversifikasi dan memilih energi gas sebagai sumber energi pembangkit. Mau tidak mau kami sebagai pengusaha batubara Indonesia kena getahnya," ujar Supriatna saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (9/7).
Seperti diketahui selain India, China merupakan satu dari beberapa negara yang menjadi pelanggan besar batubara Indonesia. Dalam catatan APBI, pada 2013 dan 2014 kemarin nilai ekspor batubara Indonesia mengalami penurunan dari angka 90 juta ton menjadi 70 juta ton.
Pelonggaran FiskalSupriatna berharap dengan adanya fenomena perlambatan ekonomi China, Pemerintah Indonesia bisa membuka mata dengan melonggarkan kebijakan fiskal yang selama ini diterapkan.
Selain masih terkendala oleh rendahnya harga jual batubara yang saat ini berada di level US$ 58 per metrik ton, dia bilang diberlakukannya berbagai peraturan seperti pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha dan Perluasan Objek PPh dinilai akan menjadi katalis negatif pada industri emas hitam nasional.
"Belum lagi pemerintah katanya sedang menggodok perubahan pengenaan royalti. Asal Anda tahu, saat ini banyak pelaku usaha yang tutup dan me-layoff banyak pekerja,” ujar Supriatna.
Tak ayal banyak pengusaha batubara lebih memilih menghentikan aktivitasnya di tengah gempuran katalis negatif tadi.
"Jadi sekarang pilihannya ada di pemerintah. Awalnya mau mendapatkan PNBP besar, malah sekarang pendapatannya berkurang karena perusahaan banyak yang berhenti beroperasi pasca anjloknya harga dan permintaan," tegasnya.