Jokowi Tak Bisa Andalkan Konsumsi Swasta dan Ekspor Tahun Ini

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Selasa, 28 Jul 2015 15:20 WIB
Untuk mencapai target pesimistis pertumbuhan ekonomi, Presiden Jokowi disebut hanya bisa mengandalkan belanja pemerintah tahun ini.
Presiden Joko Widodo (kiri) berdiskusi dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (kanan). (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini menilai realisasi pertumbuhan ekonomi bisa lebih dari target pesimistis sebesar 5,2 persen jika belanja pemerintah dapat terserap semuanya di semester II tahun ini. Ia mengatakan, belanja pemerintah menjadi sarana pertumbuhan ekonomi utama setelah konsumsi swasta dan ekspor tak bisa diandalkan.

"Mungkin diantara unsur yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi, hanya belanja pemerintah yang mampu menyebabkan pertumbuhan ekonomi bisa diatas target pemerintah. Kalau bisa diserap semuanya, kami yakin angkanya di atas 5,3 persen," jelas Hendri di Jakarta, Selasa (28/7).

Ia mengatakan, saat ini konsumsi swasta tidak dapat diandalkan kendati proporsinya terbilang besar terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Alasannya, konsumsi rumah tangga semakin kehilangan daya beli akibat meningkatnya inflasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sepanjang kuartal I 2015, masyarakat rumah tangga itu memiliki porsi 56 persen terhadap PDB. Kalau itu terganggu, maka pengaruhnya akan sangat besar terhadap pertumbuhan PDB. Selama inflasi tidak dapat ditekan, maka perbaikan ekonomi dari sisi konsumsi swasta tak dapat membantu,” jelasnya.

Sedangkan ekspor sendiri tidak dapat membantu mengingat harga komoditas yang masih lemah ditambah dengan pelemahan ekonomi global yang tengah melanda dunia saat ini. Memang diakuinya, neraca perdagangan Indonesia terbilang surplus, namun hal tersebut akibat ekspor dan juga permintaan impor yang sama-sama mengalami penurunan.

Hal tersebut terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), yang mana pada semester I tahun ini Indonesia mencetak surplus perdagangan sebesar US$ 4,35 miliar dimana nilai ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 78,3 miliar dan impor sebesar US$ 73,9 miliar. Padahal, angka impor dan ekspor ini lebih rendah dibanding tahun lalu dengan penurunan masing-masing sebesar 17,81 persen dan 11,86 persen.

"Maka dari itu, kami pikir konsumsi pemerintah hanya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan baik jika dikelola dengan benar. Apalagi belanja pemerintah banyaknya untuk infrastruktur yang dampaknya juga bisa menperbaiki pertumbuhan ekonomi," katanya.

Sebagai informasi, hingga Mei lalu realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) mencapai Rp 375,8 triliun atau 29,3 persen dari total APBNP sebesar Rp 1.280,4 triliun. Dalam kata lain, hingga akhir tahun pemerintah perlu menyerap Rp 874,6 triliun atau 70,7 persen dari APBNP.

Beda Pandangan

Sementara Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik satu-satunya rencana pemerintah untuk menggenjot ekonomi di semester II 2015 dengan meningkatkan belanja negara. Langkah tersebut menurut Faisal tidak akan efektif dampaknya dalam meningkatkan pertumbuhan karena porsinya yang sangat rendah.

Dikutip dari blog pribadinya, Faisal menyebut rendahnya porsi belanja modal pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 tidak akan mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi.

“Kalaupun belanja modal pemerintah dinaikkan dua kali lipat sebagaimana tercantum dalam APBNP 2015 menjadi Rp 276 triliun, tetap saja porsinya sangat kecil, hanya sekitar 5-6 persen,” kata Faisal.

Sehingga bagi Faisal sangat jelas, menggenjot belanja infrastruktur tak banyak membantu untuk mengerek pertumbuhan ekonomi. Ia menyarankan pemerintah untuk bisa mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengevaluasi ulang tiga strategi yang sebagian besar sudah dilakukan saat ini.

Pertama, untuk meningkatkan belanja pemerintah, penerimaan pemerintah harus naik. Penerimaan pemerintah yang terbesar adalah dari pajak. Oleh karena itu penerimaan pajak harus juga digenjot.

“Namun risikonya, peningkatan pajak mengurangi ruang gerak masyarakat berbelanja dan dunia usaha berekspansi,” jelasnya.

Kedua, jika peningkatan belanja pemerintah lebih besar dari peningkatan pendapatan pemerintah, maka pemerintah harus berutang lebih banyak. Agar Surat Utang Negara (SUN) laku, suku bunga SUN harus menarik, menyebabkan kenaikan suku bunga di pasar keuangan.

“Kenaikan suku bunga itu membuat investasi swasta turun. Jadi, peningkatan utang pemerintah menimbulkan efek mendesak (crowding out effect),” kata Faisal.

Ketiga, dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang melemah, pemerintah cenderung membabi-buta mencari sumber penerimaan baru dari pajak maupun bukan pajak. Seperti sudah terjadi sekarang, pemerintah mulai 1 Juli mengenakan pajak laba perusahaan bayar di muka sebesar 1 persen untuk setiap produk minerba yang diekspor.

Padahal harga komoditi pertambangan sedang merosot tajam. Perusahaan tambang yang merugi pun terkena ketentuan ini. Walaupun dapat memperoleh pengembalian (restitusi pajak), kewajiban bayar pajak di muka tentu saja menambah beban dan mengganggu arus dana perusahaan.

“Akibat selanjutnya, produksi turun dan akhirnya penerimaan negara bukan pajak (royalti, bagi hasil, dan lain-lain) juga turun. Ini sekedar satu contoh saja. banyak lagi praktek sejenis itu yang menambah beban perusahaan,” jelas Faisal.

Jadi untuk bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi, Faisal mengatakan sebaiknya pemerintah menghilangkan kebijakan yang menekan pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi lembaha non profit rumah tangga dan pembentukan modal tetap domestik bruto.

Dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Rabu (1/7) lalu, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro memprediksi pertumbuhan ekonomi pada semester II bisa mencapai 5,5 persen. Dengan estimasi pertumbuhan ekonomi semester I hanya mencapai 4,9 persen maka sampai akhir tahun ekonomi Indonesia disebut Bambang hanya akan mampu tumbuh 5,2 persen. Angka ini jauh dibawah asumsi makro yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sebesar 5,7 persen. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER