Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Elisa Valenta Sari adalah wartawan di CNN Indonesia. Tulisan opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Cintailah produk-produk Indonesia..Seketika perkataan legendaris yang diucapkan oleh sang pendiri PT Maspion Alim Markus dalam sebuah iklan televisi itu kini menjadi slogan kampanye diam-diam yang digunakan pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bukan tanpa sebab, pemerintah secara perlahan memaksa para penggila barang impor untuk menahan hasratnya berbelanja barang-barang pabrikan luar negeri itu.
Beberapa hari yang lalu, para pelaku industri dan asosiasi importir dibuat kocar-kacir oleh kebijakan Kementerian Keuangan yang menaikan tarif bea masuk untuk 1.151 jenis barang konsumsi.
Tak tanggung-tanggung, kenaikan tarif ada yang sampai 300 persen dibandingkan tarif sebelumnya.
Untuk barang jenis daging misalnya, semula produk tersebut tidak dikenakan bea masuk sama sekali. Namun kini tarif bea masuk untuk daging beserta olahannya ditetapkan 30 persen dari harga barang.
Selain itu, minuman beralkohol pun turut menjadi sasaran (lagi) setelah dilarang dijual di minimarket dan toko pengecer oleh Menteri Perdagangan Rahmat Gobel beberapa waktu lalu.
Sebelum dibuat mabuk karena meminum
wine, konsumen terlebih dahulu dibuat ‘mabuk’ oleh harga minuman alkohol yang meroket drastis akibat kebijakan tarif bea masuk yang baru.
Pasanya kini setiap minuman beralkohol impor yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif 90 hingga 150 persen dari harga barang.
Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro sebagai pejabat pembuat aturan bea masuk pun berkilah, kebijakan tersebut bukan jurus mabuk yang dikeluarkannya untuk menggenjot penerimaan negara.
Meskipun tahun ini ia sempat mengakui target penerimaan negara bakal kurang dari Rp 120 triliun akibat tidak maksimalnya upaya penarikan pajak.
Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu justru berpendapat kebijakan baru bea masuk mengusung semangat untuk menjaga daya saing industri lokal.
Selama ini barang impor asal China contohnya, dengan harga miring, barang-barang tersebut secara agresif menggempur dan menggeser posisi produk-produk lokal di pasar domestik.
Sebelum 24 Juli 2015 lalu, rata-rata tarif bea masuk hanya 7,26 persen, namun setelah tarif baru bea masuk berlaku rata-rata tarif bea masuk menjadi 8,83 persen.
Kepala Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Haris Munandar menyebut selama ini tarif bea masuk Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya.
Sebut saja Korea Selatan yang memiliki tarif bea masuk hingga 13 persen, China 9,9 persen, Vietnam 9,5 persen, India 13,5 persen, serta Thailand yang mencapai 11 persen.
Pada akhirnya masyarakat pun dipaksa untuk kembali mencintai dan menggunakan produk-produk buatan produsen lokal.
Tentu menjadi penganut mazhab Alim Markus bagi kelompok masyarakat tertentu bukannya tanpa risiko.
Bagi sebagian masyarakat menjadi seorang konsumen yang nasionalis harus dibayar dengan rendahnya kualitas barang yang diterima.
Di sini rasionalitas konsumen pun diuji, harga atau kualitas?
Jika seorang konsumen masih mempertimbangkan harga dalam pengambilan keputusannya, pertanyaan yang muncul di benak sang konsumen adalah sanggupkah produk dalam negeri bersaing dengan produk impor?
Sanggupkah daging sapi asal Boyolali bersaing dengan lembutnya wagyu asal Jepang?
Sanggupkah minuman anggur asal Bali menggantikan manisnya chardonnay buatan Australia?
Namun jika sang konsumen sudah terlanjur kaya dan banyak uang, apalah arti kenaikan harga barang impor.
Terlepas dari keraguan itu semua, bak hujan yang mengguyur tanah kemarau, kebijakan ini disambut baik oleh para pelaku usaha domestik.
Tentu kebijakan ini bukanlah sebuah titik tetapi baru sekedar koma.
Ini adalah pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk membangun industri subtitusi impor dalam negeri agar bergairah kembali dan mampu menjadi tuan rumah di tanah sendiri.