Jakarta, CNN Indonesia -- Guna mendorong pengembangan sumber energi minyak dan gas (migas) non-konvensional di Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberikan kesempatan kepada kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) menggunakan skema kontrak
gross split, atau yang menyerupai royalti dan pajak.
Saat ini Direktorat Jenderal Migas tengah menyiapkan Peraturan Menteri ESDM mengenai penggunaan skema
gross split yang diharapan bisa diimplementasikan mulai tahun ini.
"Saya masih fokus (menyusun)
Gross Split Sliding Scale untuk CBM," ujar Djoko Siswanto, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas kepada CNN Indonesia, Rabu (12/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Asal tahu, wacana untuk memperbolehkan KKKS non-konvensional menggunakan skema
gross split sempat mendapat penolakan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) selaku regulator hulu migas nasional.
Pasalnya, dengan menggunakan skema gross split peran dan kewenangan SKK Migas akan berkurang lantaran KKKS sudah tak lagi diawasi oleh lembaga tersebut dalam hal penyusunan rencana kerja dan anggaran hingga pada penggunaan alat pada saat aktivitas pengeboran.
Akan tetapi Djoko menyatakan, saat ini pemerintah dan SKK Migas sudah menyepakati perihal penggunaan skema
gross split di pertambangan energi non konvensional seperti gas metana batubara atau
coal bed methane (CBM) dan
shale gas.
Dengan begitu, nantinya para KKKS sudah diperkenankan untuk tidak lagi menggunakan skema kontrak berbentuk
production sharing contract (PSC) yang saat ini diberlakukan.
"Sudah tidak ada perdebatan lagi kok. Semua sudah memahami dan sepakat. Sekarang tinggal angka angka
sliding scale-nya aja yang perlu di bahas secara mendalam setelah Peraturan Menterinya terbit," kata Djoko.
Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia terdapat sedikitnya 54 wilayah kerja (WK) energi nonkonvesional yang menerapkan sistem PSC konvensional. Akan tetapi, dari upaya pengembangan terhadap puluhan WK tadi baru Vico Indonesia yang telah berhasil memproduksi CBM dari wilayah kerjanya di lapangan Mutiara, Kalimantan Timur.
Lantaran hanya memproduksi CBM tak lebih dari 0,5 juta kaki kubik per hari (mmscfd) produksi CBM Vico pun dinilai belum memenuhi perhitungan keekonomian.
“Yang jelas dengan menerapkan PSC pada pengembangan CBM itu tidak tepat. Dari pengembangan sejak 2008, baru Vico yang telah berproduksi namun pengembangannya masih belum optimal dan tidak komersial,” tutur Elan Biantoro, Kepala Hubungan Masyarakat SKK Migas beberapa waktu lalu.
(gen)