Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengimbau para pengusaha untuk menekan angka impor garam seiring menguatnya mata uang dolar Amerika Serikat terhadap rupiah yang menembus batas Rp 14 ribu. Di satu sisi, Susi meminta para pebisnis untuk membeli produk garam lokal dan mengekspornya menjadi barang produk jadi dengan nilai jual lebih tinggi.
"Dolar naik, kita harus kurangi impor. Di situ nasionalisme harus muncul," kata Susi di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, Sabtu (28/9).
Susi melanjutkan, seluruh pemangku kepentingan harus tegas menerapkan kebijakan yang beorientasi domestik sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Faktanya, ketika pemerintah mengklaim telah mengetatkan harga atau pagu untuk pembelian garam dari petani, justru para pengusaha bermain dengan harga.
Menurut Susi, cara pebisnis memainkan harga yakni dengan mengimpor garam saat petani garam lokal panen. Alhasil, nilai garam menjadi jatuh lantaran banyaknya supply atau ketersediaan yang tak diikuti oleh meningkatnya demand atau permintaan.
Susi menegaskan, impor garam dari negara asing membuat seluruh harga garam menjadi Rp 300-375/kg. Padahal, pemerintah telah menetapkan harga garam lokal kualitas 1 (K1) sebesar Rp 750/kg, kualitas dua (K2) senilai Rp 550/kg, dan kualitas 3 (K3) sejumlah Rp 400/kg.
"Saya juga imbau semua importir garam, jangan impor saat petani garam panen. Kalau garam impor itu sangat murah Rp 500/kg dan di saat yang bersamaan, banyak garam lokal karena panen akhirnya garam jadi dibeli murah," ujarnya.
Susi pun prihatin dengan nasib petani garam yang produknya dibeli dengan harga yang lebih murah dari harga produksi. "Apa tidak kasian, mereka jemur garam berbulan-bulan dan harganya Rp 275 padahal biaya mereka Rp 600?" ujarnya.
Sementara itu, banyak pelaku usaha yang menjual harga impor dengan kemasan asli yang dinaikkan harganya menjadi tiga kali lipat lebih saat dijual bebas di pasar. Susi menemukan garam impor yang dijual dengan harga Rp 2.000 hingga Rp 3.000/kg.
"Coba kalau misal dijual Rp 1.500/kg. Itu sudah bisa untung Rp 1.000/kg. Kurangin untung, simpan Rp 2 triliun lebih untuk menghidupkan 70 ribu petani garam," ujarnya.
Perbaiki Kualitas Garam Dalam Negeri
Susi melanjutkan, perbedaan kenaikan kurs bisa digunakan untuk membeli teknologi. Teknologi yang dibeli dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas garam dalam negeri.
Garam yang selama ini dijual di pasaran, menurut Susi, yakni garam industri dan garam pangan. Indonesia selama ini hanya dapat memasok garam pangan dengan kualitas lebih rendah dari garam industri. Garam industri digunakan untuk pembuatan produk berdasar kaca atau gelas.
Garam pangan, memiliki kadar Natrium Clorida (NaCl) tak sebanyak garam industri yang mencapai 96 persen. Tingkat kejernihan unsurnya pun berbeda. Garam industri untuk pembuatan kaca membutuhkan tingkat kejernihan yang lebih tinggi. Untuk unsur lain seperti Magnesium, garam pangan memiliki kadar yang lebih tinggi dibanding garam industri.
Namun yang menjadi persoalan adalah ketika impor garam tak lagi hanya garam industri melainkan garam pangan. Padahal, banyak petani garam domestik yang justru memproduksi garam pangan.
"Kenapa harus impor melebihi kebutuhan perusahaan dan tidak memakai kualitas garam yang kita punya?" tanya Susi.
Untuk menyiasati hal tersebut, Susi mengklaim pemerintah telah memberdayakan para petani garam dengan anggaran sebanyak Rp 180 miliar. "Itu untuk membeli geo membran supaya garam bisa jernih dan clarity bagus. Ini harus didukung," katanya.
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor garam sebanyak 75% dari kebutuhan impor garam industri tahun lalu dengan kuota sebanyak 1,506 juta ton selama satu semester pertama tahun 2015. Atas dasar catatan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan rekomendasi untuk menekan jumlah impor garam.
"Impor itu hanya boleh 1,1 ton dan yang boleh impor hanya perusahaan yang punya kebutuhan untuk industri kaca," kata Susi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(tyo)