Elektrifikasi Indonesia Kalah Dari Singapura dan Malaysia

CNN Indonesia
Selasa, 01 Sep 2015 03:52 WIB
Tingkat elektrifikasi listrik di Indonesia saat ini hanya sekitar 800 KWH per kapita, jauh di bawah Malaysia yang sebesar 2.500 KWH.
Warga memeriksa meteran listrik prabayar sebelum diisi ulang di Jakarta, Sabtu (4/7). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menilai tingkat elektrifikasi di Indonesia kalah jauh dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Pasalnya, meskipun distribusi listrik nasional sudah menjangkau 87 persen wilayah Indonesia, tetapi tingkat konsumsinya masih sangat rendah.

"Dibandingkan Malaysia, mereka listriknya rata-rata 2.500 KWH per kapita, sedangkan kita baru sekitar 800-an KWH. Dibandingkan Singapura lebih jauh lagi, mereka sepuluh kali lipat dari kita," ujar Sudirman Said di Gedung Dewan Pers, Minggu (30/8).

Sudirman mengakui kurang adil jika membandingkan tingkat elektrifikasi Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Namun, ia menilai tidak masalah membandingkan sesuatu dengan yang lebih baik.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Untuk yang baik-baik saya selalu mengambil yang lebih ideal," ujarnya.

Berbeda dengan Menteri Sudirman, anggota Dewan Energi Nasional, Rinaldy Dalimi tidak setuju jik aharus membandingkan elektrifikasi Indonesia dengan Malaysia. Menurutnya kurang tepat melakukan komparasi soal listrik antara Indonesia dengan negara-negara tetangga mengingat jumlah penduduk masing-masing jauh berbeda.

"Tidak bisa disamakan dengan Malaysia dan Singapura. Kita punya keunikan sendiri yang saya sebut regionalisasi," kaya Rinaldy.

Dilihat dari segi kualitas pun berbeda. Secara kemampuan, kata Rinaldy, Indonesia tidak kalah dengan Malaysia maupun Singapura. Apabila di kedua negara tersebut listrik kebanyakan dipakai untuk industri, sementara di Indonesia lebih banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga.

"Malaysia dibandingkan dengan Jawa Barat baru bisa apple to apple. Kita secara kemampuan tidak kalah," kata Rinaldy.

"Cuma memang ada oknum yang merusak perencanaan. Misalnya saja koruptor yang mengambil keuntungan dari proyek yang dilakukan," ujarnya.

Pembebasan Tanah, Masalah Klasik Namun Krusial

Masalah lain dari kondisi elektrifikasi di Indonesia adalah sulitnya pembebasan tanah. Penghambat pembangunan listrik di negeri ini kucinya ada pada lahan untuk membangun.

Rinaldy bercerita, China bisa sukses membangun listrik sampai ratusan ribu gigawatt karena lahan untuk membangun pembangkit listrik di sana bisa didapatkan dengan mudah.

"Di China pembangunan listriknya bisa sukses karena tidak ada permasalahan mengenai tanah sebab China negara komunis, tanah milik negara," ujar Rinaldy.

Sementara di Indonesia, tanah bisa dimiliki siapa saja. Tanah negara pun bisa menjadi tempat tinggal penduduk. Ketika pemerintah membutuhkan sebuah lahan untuk pembangunan, masalah baru terjadi.

Selama ini, penyebab bermasalahnya pembebasan tanah di Indonesia adalah tidak adanya andil pemerintah karen kebanyakan harus dilakukan oleh investor sendiri.

"Akibatnya prosesnya pun lama," kata Rinaldy. Bahkan bisa jadi berlarut karena sulit mendapatkan kesepakatan harga. Masyarakat tahu lokasi rumahnya akan dijadikan tempat bisnis sehingga harga jual tanahnya dinaikkan. Investor pun tak mau rugi kalau membayar harga tanah yang terlalu mahal.

"Di peraturannya memang investor yang menyelesaikan.  Tidak ada kewajiban pemerintah menuntaskan soal tanah," kata Rinaldy.

Namun, menurut dia, hal ini harus diubah. Apabila pembangunan ingin berjalan lebih cepat, tidak ada salahnya pemerintah mengambil alih pembebasan lahan tersebut. "Tidak salah menurut saya. Tidak dilarang juga," ujar Rinaldy.

Sebenarnya, lanjut Rinaldy, sudah ada di undang-undang pertanahan yang baru di mana harga tanah itu adalah harga pasar untuk tanah yang berlaku di situ. Apabila pemilik tanah menaikkan harga, hal ini bisa dibawa ke pengadilan untuk kemudian diputuskan di pengadilan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER