Jakarta, CNN Indonesia -- Cadangan devisa China tergerus signifikan pada bulan lalu menyusul langkah bank sentral (People's Bank of China/PBoC) melakukan devaluasi terhadap yuan. Cadangan devisa terkuras sebesar US$ 939 miliar selama Agustus menjadi tinggal US$ 3,56 triliun, yang merupakan penurunan tertinggi sejak Mei 2012.
Kondisi serupa juga terjadi di Tanah Air, di mana cadangan devisa Indonesia terus berkurang seiring dengan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah cadangan devisa RI pada akhir Agustus sebesar US$ 105,3 miliar, berkurang US$ 2,3 miliar dari posisi akhir Juli sebesar US$ 107,6 miliar.
Eric Alexander Sugandi, Ketua Bidang Kajian Ekonomi Internasional Partai Gerindra, menilai terkurasnya cadangan devisa China dan Indonesia merupakan konsekuensi yang harus diterima dari kebijakan moneter bank sentral mengintervensi nilai tukar. Salah satu sentimen utamanya adalah rencana Amerika Serikat (AS) melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan merencanakan kenaikan suku bunga acuan bank sentral (
The Fed rate).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bedanya, cadangan devisa China jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan devisa Indonesia," ujarnya kepada CNN Indonesia, Selasa (8/9).
Untuk kasus China, Eric menjelaskan rezim nilai tukar tetap (
fix exchange rate) menuntut bank sentral untuk memupuk cadangan devisa dalam jumlah besar. Terlebih saat dolar AS semakin perkasa, secara otomatis mengharuskan PBoC mengucurkan persediaan dolarnya ke sistem untuk menjaga nilai tukar yuan tetap pada level yang diinginkan.
"China sendiri arahnya akan bergerak dari rezim
fix exchange rate menuju
floating rate. Karena dia mau memasukkan yuan ke dalam
basket SDR (
Special Drawing Right) IMF," tuturnya.
Mantan Ekonom Standard Chartered Bank ini menuturkan dalam dunia ekonomi dikenal istilah
invisible trinity, di mana setiap negara harus memilih dua dari tiga pilihan jika ingin mata uangnya masuk dalam keranjang SDR.
Ketiga pilihan tersebut adalah mengubah rezim mata uangnya dari
fix exchange rate menjadi
floating exchange rate (kurs mengambang), membebaskan aliran modal, atau menerapkan kebijakan moneter independen.
"China tampaknya akan mengorbankan yang pertama, yakni
fix rate. Sinyalnya terlihat ketika mendevaluasi nilai tukar yuan," jelasnya.
Kondisi ini, lanjut Eric, menggambarkan tekanan yang terjadi di Negeri Tirai Bambu yang berasal dari perlambatan ekonomi, pelarian modal, dan ekspektasi kenaikan
The Fed rate.
Pengaruh ke IndonesiaBerbeda halnya dengan di Indonesia, kata Eric. Dengan menganut rezim kurs mengambang, ia menilai BI tidak diwajibkan untuk memupuk cadangan devisa sebesar China. Pasalnya, rupiah dibiarkan bergejolak mengikuti mekanisme pasar. Namun, lanjutnya, ada masalah fundamental di ekonomi Indonesia, antara lain defisit neraca transaksi berjalan
"Bedanya yuan China
under valued, sedangkan rupiah
under pressure," tuturnya.
Eric menambahkan, biasanya apa yang terjadi di China berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, seperti ketika yuang didevaluasi. Sebabnya, China merupakan mitra dagang utama Indonesia, baik untuk ekspor komoditas maupun impor barang konsumsi. Untuk itu, dampaknya perlu diwaspadai oleh pemerintah dan BI.
"Jadi ada dampaknya, yang terkait dengan fundamental ekonomi China itu sifatnya jangka menengah panjang. Sedangkan yang terkait dengan persepsi itu lebih jangka pendek," jelasnya.
(ags/gen)