Jakarta, CNN Indonesia -- Para pengusaha penggemukan sapi (
feedloter) tak terima dengan tudingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menduga mereka melakukan praktik kartel sapi sehingga membuat harga sapi potong impor di pasar jadi mahal kendati suplainya lebih banyak. Para pengusaha mengatakan, harga sapi semakin mahal karena beban-beban produksi semakin tinggi.
Seperti dijelaskan oleh Riza Haerudin, Direktur CV MAS yang merupakan salah satu dari 32 perusahaan yang diduga KPPU melakukan kartel. Riza mengaku saat ini perusahaannya harus menanggung rugi kurs dan juga beban-beban lain dalam menjual daging sapi kepada pada pedagang di pasar. Bahkan, ia mengklaim harus menanggung rugi sebesar Rp 6 miliar dari Januari hingga Juli 2015 akibat harga jual seharusnya lebih besar dibanding harga karkas sapi sebesar Rp 38 ribu per kilogram (kg).
"Dengan beban-beban usaha yang ada, kami hitung harusnya harga jual sapi kami berada di kisaran Rp 44 ribu per kg. Tapi kan harga karkas sapi berada di angka Rp 38 ribu per kg, jadi ada selisih Rp 6 ribu per kg dan kami harus menanggung rugi dari situ," jelas Riza ketika ditemui di Kantor KPPU, Selasa (15/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia merinci, saat ini bobot sapi hidup impor dihargai sebesar US$ 2,7 hingga US$ 2,9 per kilogram. Sementara sejak Januari telah terjadi depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebesar 15,3 persen. Selain itu, perusahaannya pun harus menanggung bea masuk sebesar 5 persen, Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 2,3 hingga 2,5 persen, biaya logistik sebesar Rp 500 hingga Rp 1.000 per kilogram, dan adanya penyusutan barang akibat logistik sebesar 4 persen dari bobot daging sapi.
"Kalau keadaannya begini terus sampai akhir tahun, kemungkinan kami bisa rugi sampai Rp 10 miliar. Ini semua kan karena kurs yang melemah, maka konsekuensinya ya harga sapi yang naik," tambahnya.
Minta DukunganDengan kondisi tersebut, dirinya pun menolak apabila disebut sebagai pelaku kartel sapi. Bahkan, ia mengatakan kalau seharusnya usahanya didukung pemerintah mengingat selama ini para pengusaha harus menanggung rugi akibat berjualan sapi.
"Kami ini bukan kriminal, malahan kami yang harus memberi subsidi selisih harga daging seharusnya dengan harga karkas sapi," jelasnya.
Senada dengan Riza, Direktur PT BMT Juan Permata Adoe yang juga dilaporkan atas dugaan kartel sapi mengatakan bahwa kenaikan harga sapi kali ini murni karena mekanisme permintaan dan penawaran. Distribusi yang tidak merata, menurutnya, menjadi alasan mengapa harga sapi di beberapa daerah melonjak.
"Kali ini memang fenomenanya supply and demand. Karena ada kelompok-kelompok yang mendapat alokasi daging yang lebih besar dan ada yang dapat alokasinya kecil. Nah ini bahasanya bukan kartel. Jadi mekanisme pasar yang ada saat ini adalah supply-nya kurang, permintaannya naik," jelas Juan.
Kendati demikian, ia tak berani untuk mengatakan bahwa pihaknya tidak bersalah dalam gugatan KPPU kali ini. Ia bersama perusahaan-perusahaan lain masih akan mengkaji lagi dugaan tersebut namun tetap menolak tudingan menimbun sapi demi berburu laba.
"Penimbunan di dalam istilah pengusahaan sapi itu tidak ada. Sapi itu adalah bahan baku untuk industri
feedloter, sehingga tak ada istilah kami bisa melakukan hal itu. Namun kami masih belum berkomentar macam-macam karena masih akan mempelajari laporannya," tegasnya.
Sebagai informasi, KPPU pada hari ini melakukan sidang perdana atas dugaan kartel sapi di Jabotabek yang melibatkan 32 perusahaan
feedloter. Seluruh perusahaan tersebut disinyalir melakukan pengendalian harga sapi dengan cara membatasi suplai kepada rumah potong hewan (RPH) sebagai antisipasi pembatasan kuota impor sapi yang dilakukan pemerintah pada kuartal III dan IV tahun ini.
Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan telah memberikan kuota impor sapi sebesar 50 ribu ton pada kuartal III 2015 dan 39 ribu ton pada kuartal berikutnya. Angka ini terbilang menurun signifikan dari angka kuota impor kuartal I yang sebesar 97,61 ribu ekor dari target 100.000 ekor dan kuartal II yang terealisasi 201,64 ribu ekor dari target impor 267,62 ribu ekor.
(gen)