Jakarta, CNN Indonesia -- Produsen semen swasta, PT Holcim Indonesia Tbk mengalami kinerja yang buruk pada awal tahun ini. Perseroan mencatatkan rugi bersih hingga Rp 138,05 miliar pada semester I 2015, berbalik dari laba bersih senilai Rp 452,93 miliar di periode yang sama 2014.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan pada Selasa (15/9), pelemahan kinerja Holcim Indonesia berawal dari melemahnya penjualan selama semester I 2015 menjadi senilai Rp 4,85 triliun dari Rp 4,92 triliun di enam bulan pertama 2014.
Hal itu ditambah lagi dengan adanya penaikan beban pokok produksi semester I 2015 menjadi Rp 3,79 triliun dari Rp 3,49 triliun pada paruh pertama 2014. Dalam pos beban tersebut, tercatat jumlah biaya produksi menanjak menjadi Rp 3,89 triliun, dari Rp 3,66 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya, laba kotor Holcim Indonesia melorot 25,97 persen menjad Rp 1,06 triliun pada semester I 2015, dari Rp 1,43 triliun di paruh pertama 2014. Namun, pelemahan kinerja perseroan tidak sampai di situ saja.
Beban distribusi perseroan pada semester I 2015 melonjak menjadi Rp 410,68 miliar, dari Rp 350,19 miliar. Beban umum dan administrasi juga meningkat ke Rp 365,73 miliar dari Rp 238,85 miliar.
Lebih lanjut, beban keuangan bersih Holcim Indonesia juga melonjak menjadi Rp 269,19, meningkat sekitar lima kali lipat dari Rp 54,2 miliar di paruh pertama 2014.
Hal tersebut membuat Holcim Indonesia mencatatkan rugi sebelum pajak penghasilan Rp 155,68 miliar. Padahal di semester I 2014 perseroan masih mampu untung sebelum pajak penghasilan Rp 628,18 miliar.
Kendati beban pajak bersih perseroan pada semester I 2015 menurun ke Rp 20,99 miliar dari Rp 197,21 miliar, hal tersebut tidak bisa membuat kinerja Holcim Indonesia positif. Alhasil, perseroan mencatatkan rugi periode berjalan yang bisa diatribusikan kepada pemilik entitas induk (rugi bersih) sebesar Rp 138,05 miliar pada semester I 2015.
Dari sisi aset, Holcim Indonesia mampu mencatatkan nilai Rp 17,89 triliun per 30 Juni 2015. Jumlah tersebut naik dari capaian akhir 2014 senilai Rp 17,19 triliun. Adapun jumlah liabilitas mencapai Rp 9,73 triliun, sedangkan ekuitas perseroan tercatat Rp 8,16 triliun.
Sebelumnya, pada akhir Agustus lalu Holcim Indonesia meresmikan pabrik barunya di Tuban, Jawa Timur. Pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi 3,4 juta ton per tahun dan akan memberikan tambahan 40 persen terhadap total kapasitas produksi Holcim di Indonesia menjadi 12,5 juta ton semen per tahun.
Pabrik yang memulai konstruksi lima tahun silam ini, merupakan proyek greenfield yang dilakukan pertama kali di Indonesia oleh Holcim. Dengan total investasi senilai 800 juta dolar Amerika, pabrik ini diproyeksikan untuk memenuhi kebutuhan pasar di Jawa Timur dan antarpulau yang tengah berkembang.
“Saat ini Holcim Indonesia beroperasi ditengah kondisi pasokan pasar yang berlebih, ditambah lagi dengan lesunya pasar semen. Namun, kami perkirakan kondisi ini bersifat sementara, karena pasar konstruksi di negara-negara berkembang memiliki siklusnya sendiri,” ujar Gary Schutz, Presiden Direktur PT Holcim Indonesia Tbk saat peresmian.
Menurutnya, Indonesia memiliki pondasi ekonomi makro yang kuat secara keseluruhan dalam jangka panjang. Karena itu, perseroan optimistis perekonomian akan pulih dengan realisasi dari investasi pemerintah dan sektor swasta di bidang infrastruktur dan perumahan yang sempat tertunda.
Gary menilai banyaknya realisasi proyek-proyek infrastruktur yang tertunda dan menurunnya proyek-proyek perumahan telah menekan penjualan semen yang turun 4,4 persen menjadi 28,1 juta ton pada semester pertama tahun ini.
“Para pelaku bisnis semen nasional turut merasakan dampak dari perlambatan perekonomian ini terhadap pencapaian volume penjualan dan laba perusahaan,” jelasnya.
Kendati kinerja hingga Juli buruk, di sisi lain, analis UOB Kay Hian Marwan Halim menyatakan bahwa kinerja penjualan semen Holcim Indonesia mengalami perbaikan pada Agustus 2015. Tercatat, perseroan mengalami penaikan penjualan hingga 67 persen menjadi 898.403 ton dari 536.270 ton pada Juli 2015.
“Hal itu terjadi karena perusahaan memiliki basis pasar yang kuat di Jawa Barat dan Jawa Tengah,” ujarnya dalam riset.
(ags/ags)