Jakarta, CNN Indonesia -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritik proyek pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (MW) yang diusung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang terlalu bergantung pada pasokan batubara. Selain bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan gas emisi karbon, proyek tersebut juga dinilai terlalu menguntungkan China.
Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi, Pius Ginting menuturkan sekitar 54 persen proyek pembangkit listrik 35 ribu MW atau sebesar 19 ribu MW akan beroperasi dengan mengandalkan pasokan batubara. Dia menilai proyek tersebut sangat bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan gas emisi karbon sebanyak 29 persen hingga 2030 mendatang.
"Bagaimana mungkin menurunkan emisi karbon 29 persen pada 2030, bila karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara justru meningkat dua kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024?" kata Pius saat konferensi pers di kantor Walhi, Jakarta, Kamis (17/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Pius, angka itu belum termasuk emisi karbon yang dibakar dari minyak dan gas, baik dari pembangkit listrik maupun kendaraan bermotor. Pius menilai pemerintah masih tidak tegas dalam mengupayakan moda transportasi publik yang tidak rakus energi fosil.
"Sementara, hutan yang difungsikan untuk menyerap emisi, justru semakin banyak dirusak untuk menggali batubara dalam rangka memenuhi kebutuhan PLTU sekitar 250 juta ton per tahun," katanya.
Bukan hanya itu, Pius juga menilai pemerintah kerap memberikan subsidi dalam proyek PLT batubara. Subsidi yang paling nyata adalah dalam hal pembebasan lahan.
"Padahal bila dicermati, proyek itu akan lebih menguntungkan pihak industri. Pemain dari proyek ini adalah internasional. China menanamkan investasi sebesar US$ 4,3 miliar dalam proyek ini," tuturnya.
Dorong Energi TerbarukanPada kesempatan yang sama, Koordinator Masyarakat Anti Nuklir Indonesia (MANI) Dian Abraham mengatakan pemerintahan Joko Widodo seharusnya mulai fokus dalam penggunaan energi terbarukan. Namun, dia menegaskan bukan berarti pemerintah punya alasan untuk menggunakan energi nuklir sebagai alternatrif.
"Lupakan nuklir dan beralihlah ke energi terbarukan. Energi terbarukan potensinya sangat besar, contohnya energi dari matahari," katanya.
Sebagai negara beriklim tropis, Dian menilai pemanfaatan energi matahari merupakan solusi tepat untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Bahkan, Dian meyakini proyek listrik sebesar 35 ribu megawatt bisa terwujud hanya dalam dua tahun jika memanfaatkan tenaga matahari.
"Jerman saja yang musim panasnya hanya beberapa bulan bisa menghasilkan energi sebesar 13 gigawatt selama dua tahun. Apalagi Indonesia yang sepanjang tahun diterpa matahari," katanya.
Greenpeace dalam situsnya menjelaskan, meskipun kapasitas tenaga nuklir dunia ditingkatkan dua kali lipat pada tahun 2030, kontribusinya pada konsumsi energi dunia tidak akan melebihi 10 persen. Hal itu merujuk pada hasil riset International Energy Agency (IEA).
Oleh karenanya, meningkatkan kapasitas tenaga nuklir sebesar 100 persen hanya akan menghasilkan penurunan kurang dari lima persen terhadap ketergantungan pada bahan bakar fosil dan emisi CO2 .
Sementara itu, energi terbarukan dinilai Greenpeace bisa menjadi opsi yang lebih murah. Untuk menggandakan kapasitas tenaga nuklir pada tahun 2030 dan mempertimbangkan pembangkit nuklir yang sedang dan akan ‘pensiun’, Indonesia membutuhkan 500 Gigawatt (GW) pembangkit berkapasitas baru dengan kebutuhan biaya sekitar US$ 2-3 triliun.
Apabil amemperhitungkan komponen biaya yang sedang menurun, ongkos pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan berkapasitas 5 GW bisa dihemat menjadi sekitar US$ 1,5 triliun atau setengah dari hitung-hitungan awal.