Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menegaskan perusahaan perkebunan sawit anggotanya tak mungkin membakar kebunnya secara sengaja karena sama saja merusak mesin produksi dan merugikan diri sendiri. Selain itu, pertimbangan adanya ancaman hukuman berat jadi pertimbangan lain hal tersebut dilakukan.
“Tak mungkin ada perusahaan perkebunan sawit yang sengaja membakar lahannya sendiri dengan regulasi yang ketat ada saat ini. Apalagi, lahan itu bagian dari mesin produksi, jika dibakar artinya tak ada produksi,” kata Ketua Bidang Agraria Kelapa Sawit Indonesia Gapki Eddy Martono dalam sebuah acara diskusi, Rabu (23/9).
Seluruh anggota Gapki menurut catatan Eddy memiliki cabang di 12 provinsi dengan total luas areal dikelola 3,9 juta hektare milik 663 perusahan . Sementara total perkebunan sawit di Indonesia ada 10,9 juta hektare. Artinya, anggota Gapki hanya menguasai sekitar 35 persen dari total area perkebunan sawit di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun akibat dari pembakaran hutan yang terjadi belum lama ini, menurut Eddy ada sekitar 14 perusahaan yang merugi karena kebunnya seluas 2.900 hektare turut terbakar. Terdiri dari 1.000 hektare kebun milik plasma dan 1.900 hektare kebun milik inti.
“Dari total yang terbakar hanya 100 hektare yang belum tertanam , selebihnya ada tanamannya. Logika saja, masa ada yang mau bakar kebun yang sudah akan menghasilkan uang,” katanya.
Ia berhitung saat ini perusahaan perkebunan membuka lahan sawit dengan cara mekanisasi di mana biayanya sekitar Rp 6 juta per hektare. Sementara investasi yang dikeluarkan dari awal menanam sampai panen sekitar Rp 60 juta-Rp 70 juta per hektare atau hanya sekitar 10 persen dari total biaya .
“Logikanya mana ada memilih berhemat Rp 6 juta per hektare dengan risiko yang begitu besar. Karena kalau artinya ketahuan membakar maka izin bisa dicabut dan denda yang begitu besar bukan puluhan milliar tapi ratusan milliar rupiah siap menanti. Apa benar ada perusahaan sawit yang sekonyol itu?” dia bertanya.
Ia meminta dalam melihat bencana kebakaran lahan semua pihak bisa obyektif karena selama ini industri sawit di Indonesia telah berkontribusi devisa sebesar US$ 20 miliar, bahkan untuk semester pertama tahun 2015 sudah menghasilkan sekitar US$ 9,75 miliar.
“Saya sampaikan di sini perusahan sawit tidak akan beroperasi jika tidak ada Izin Usaha Perkebunan (IUP). Kemudian data kebakaran dari Global forest Watch tanggal 21 September 2015 menyatakan kebakaran lahan yang diluar konsesi sekitar 67 persen sedangkan kebakaran yang berada di dalam konsesi perkebunan sawit hanya 8 persen. Jadi, tolong memotret ini dengan obyektif,” katanya.
Sebelumnya, dalam jurnal yang diterbitkan Tim Riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dinyatakan, untuk menyimpulkan kebakaran hutan terkait dengan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak didukung data yang ada.
Di Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Barat yang merupakan provinsi yang sedang intensif pembukaan kebun sawit, luas kebakaran hutan justru relatif kecil dibandingkan provinsi sentra sawit yang sudah berkembang lama. Karena itu, dugaan bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh pembukaan kebun sawit baru juga sangat lemah dan tidak didukung data.
Dalam kajian itu dinyatakan pihak yang menjadi korban kebakaran sering malah dijadikan ‘kambing hitam’ penyebab kebakaran tanpa didasari pada analisis rasional dan bukti empiris. Kesimpulan penyebab kebakaran sudah dibangun di atas meja, sehingga di lapangan hanya menghimpun data dan informasi yang membenarkan kesimpulan yang telah ditentukan sebelumnya.
“Perkebunan yang ditemukan telah atau sedang terbakar, langsung disimpulkan sebagai penyebab kebakaran. Tidak dianalisis lebih lanjut apakah perkebunan tersebut benar-benar aktor kebakaran atau justru menjadi korban kebakaran. Cara melihat kebakaran dengan logika yang jungkir balik demikian, selain melanggar asas praduga tak bersalah juga tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya,” tulis Tim Riset PASPI.
(gen/ded)